Jumat, 05 Juni 2020

JUAL BELI


MAKALAH
JUAL BELI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II
Dosen : Drs. H. Mugiyono, M.PdI.



OLEH :
Ahmad Zul Hikam                     (31.19.093)
Nurhasanah                               (31.19.095)
Akrom Maulana                        (31.19.104)



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
Tahun 2019/2020

KATA PENGANTAR
   Segala puji kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hikmah, hidayah, pengetahuan, kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah kami yang berjudul “JUAL BELI” dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
     Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dosen Drs. H. Mugiyono, M.PdI pada mata kuliah Fiqih II. Selain itu, makalah ini bertujuan agar pembaca dan kami pribadi sebagai pemakalah dapat mengetahui dan menjelaskan pengertian dari jual beli, rukun-rukun, syarat-syarat serta siapa saja yang bisa menjadi saksi dalam jual beli, karena manusia adalah mahluk sosial yang pasti akan melaksanakan transaksi jual beli, maka kita harus paham dengan fiqih muamalah tentang jual beli tersebut agar kita tidak keluar dari ajaran syari`at agama Islam.
   Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Drs. H. Mugiyono, M.PdI yang telah memberikan tugas ini sehinga kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mengamalkan sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
       Kami sadar sepenuhnya, jika dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun menuju kesempurnaan dari pembaca untuk kesempurnaan makalah kami yang akan datang.




Jakarta, 24 Maret  2020








DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................    i
DAFTAR ISI.......................................................................................................    ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG.............................................................................    1
B.     RUMUSAN MASALAH.........................................................................    1
C.     TUJUAN PENULISAN...........................................................................    1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jual Beli...................................................................................    2
B.     Dasar Hukum Jual Beli..............................................................................    5
C.     Rukun Jual Beli.........................................................................................    7
D.    Syarat-syarat Jual Beli...............................................................................   10
E.     Saksi Dalam Jual Beli................................................................................   13
F.      Khiyar dalam Jual Beli..............................................................................   13
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN........................................................................................   14
B.     SARAN.....................................................................................................   15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................   16












BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
   Jual beli sendiri adalah menukar barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Dan ada juga yang mendefinisikan jual beli adalah pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan Syara`. Dengan kita membaca dan mempelajari makalah ini kita sebagai generasi selanjutnya dapat menerapkan dan mengimplementasikan fikih mualamah tentang jual beli ini, karena kita adalah mahluk sosial yang tidak akan mungkin tidak melaksanakan jual beli.
       Dengan kita mengetahui bagaimana rukun dan syarat dari jual beli, hidup kita akan terasa lebih terarah karena kita melaksanakan aturan syara` pada agama kita. Bahkan rantai pengetahuan dan wawasan kita tidak akan berhenti pada kita pasti akan ada generasi selanjutnya yang akan melanjutkan rantai wawasan dan pengetahuan tersebut selagi kita mengamalkan ilmu jual beli ini.
B.  RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian jual beli itu?
2.      Apa syarat-syarat dari jual beli?
3.      Apa rukun-rukun dari jual beli?
4.      Siapa saja yang dapat menjadi saksi saat jual beli?

C.  TUJUAN PENULISAN

1.    Untuk mengetahui pengertian dari jual beli sendiri,
2.    Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat dalam jual beli,
3.    Untuk mengetahui apa saja rukun-rukun dalam jual beli, dan
4.    Untuk mengetahui siapa saja yang bisa menjadi saksi dalam jual beli.







BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Jual Beli
       Sebelum kita membahas jual beli secara luas, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan jual beli secara etimologi. Jual beli dalam bahasa arab disebut ba`i yang secara bahasa adalah tukar menukar. Dalam buku yang lain, kata jual beli mengandung satu pengertian, yang berasal dari bahasa arab yaitu ba`i, yang jamaknya adalah buyu`i dan konjungsinya adalah ba`a-yabi`u-bai`an yang berarti “menjual”. Sementara itu menurut Wahbah Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Muhammad Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (fikih Islam) mengemukakan bahwa pengertian jual beli menurut bahasa, yaitu:
       Jual beli (البيع) artinya “menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain).” Kata البيع dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata شرا (beli). dengan demikian, kata البيع berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.
            Pemahaman atas pengertian semacam ini juga diungkapkan oleh Zakariyya al-Anshory dalam Kitab Fathul Wahhab dimana beliau memberikan definisi jual beli secara lughawi sebagai berikut:
مَقَابَلَةُ شَيْئٍ بِشَيْئٍ
Jual beli menurut arti bahasa adalah menghadapkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
      
       Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar, juga mendefinisikan jual beli (البيع) secara bahasa, sebagai berikut:
إعطاء شيء في مقابلة شيء
Mebemberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan yang tertentu).

Dalam surat Al-Fathir ayat 29 Allah berfirman:
يَرْجُونَ تِجَٰرَةً لَّن تَبُورَ
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi

            Adapun pengertian jual beli secara istilah/terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh para Fukaha adalah sebagai berikut.
1.        Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah “Penukaran benda dengan benda lain, saling merelakan dengan cara yang diperbolehkan.”
2.        Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, jual beli adalah “Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah hak milik secara tetap.
3.        Menurut Ibnu Qadamah, jual beli adalah “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik.”
4.        Dalam Kitab Fiqih Al-Syafi`iyah, hlm 5 jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
Jual beli dalam pengertian syara` terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab. Meskipun terdapat perbedaan, subtansi dan perbedaan masing-masing definisinya sama. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:
وهو بيع العين بالنقدين الذهب والفضة ونحوهما أو مبادلة السلعة بالنقد أو نحوه على وجه مخصوص
Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.
Definisi ini terkandung arti bahwa cara khusus yang dimaksudkan oleh ulama Hanafiyah adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Akan tetapi, harta yang diperjual belikan haruslah yang bermanfaat bagi manusia. Apabila jenis barang-barang seperti itu tetap diperualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.
            Definisi lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hanabilah menurut mereka jual beli adalah:
مبادلة المال بالمال تمليكا وتملكا
Pertukaran harta dengan harta, dalam bentuk pemindahan hak milik dan hak pemilikan.
   Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan  المال (harta), terdapat perbedaan pengertian antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Akibat dari perbedaan ini, muncul pula hukum-hukum yang berkaitan dengan jual beli itu sendiri. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan  المال adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu, manfaat dari suatu benda (menurut mereka)  dapat diperjualbelikan. Ulama Hanafiyah mengartikan المال dengan suatu materi yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu, manfaat dan hak-hak (menurut mereka) tidak boleh dijadikan objek jual beli.
   Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara dua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara` dan di sepakati.
       Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukun-rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak Syara`.
   Benda dapat mencangkup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya oleh Syara`. Benda itu ada kalanya bergerak (dipindahkan) dan ada kalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lainnya. Penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepanjang tidak dilarang Syara`.
   Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.
       Jual beli menurut Ulama Malikiyah ada dua macam:

1.    Jual beli yang bersifat umum
       Jual beli umum adalah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan.Tukar menukar, yaitu satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Sesuatu yang bukan manfaat itu adalah bahwa benda yang ditukarkan adalah zat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

2.    Jual beli yang bersifat khusus
Jual beli khusus adalah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisasikan dan ada seketika, tidak merupakan utang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.
Adapun definisi dari sebagian ulama yang mengatakan jual beli adalah menukar satu harta dengan harta lainnya dengan cara khusus merupakan definisi yang bersifat toleran jadi menjadikan jual beli sebagai saling menukar, sebab pada dasarnya akad tidak harus saling tukar, tetapi menjadi bagian dari konsekuensinya, kecuali jika dikatakan: Akad yang mempunyai sifat saling tukar menukar artinya menuntut adanya satu pertukaran.
Oleh sebab itu sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar`i sebagai akad yang mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus. Ada juga yang menyebutkan kata akad untuk terjalinnya satu akad atau hak milik yang lahir dari sebuah akad seperti dalam ucapan seseorang “fasakhtu al-bai`a” artinya jka akad yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan lagi, walaupun maksud yang sebenarnya adalah membenarkan hal-hal yang menjadi akibat dari akad. Dari pendapat di atas dapat diambil beberapa faedah, dimana jual beli terdapat tiga sebutan; sebutan untuk tamlik dan akad,dan juga untuk menukar satu benda  dengan benda lain secara mutlak, dan yang terakhir untuk istilah syira` (membeli) yang merupakan tamalluk (menjadi hak milik).
Beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa secara garis besar jual beli adalah tukar-menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara` atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan disini berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan mata uang lainnya. 
Dalam tukar-menukar barang tersebut, nilai barang yang ditukarkan harus seimbang, disertai akad yang mengarah pada pemilikan hak milik  terhadap masing-masing harta itu dengan asas saling ridha sesuai dengan aturan dan ketentuan hukum. Kalimat yang dimaksud sesuai dengan ketentuan hukum adalah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli.
B.  Hukum Dasar Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang sangat kuat dalam Islam. Islam mendorong seseorang untuk melakukan jual beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan merumuskan tata cara untuk memperoleh harta sehingga dengan adanya perintah untuk melakukan jual beli, maka antara sesama manusia akan tercipta rasa kebersamaan, rasa tolong menolong dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Semua itu karena manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Jual beli di Syari`atkan berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan Ijma`. Dilihat dari aspek hukum, jual beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang dilarang oleh syara`, terdapat sejumlah ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang jual beli, di antaranya:
1.    Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah: 275
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
       Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur`an mengemukakan bahwa:
       Allah Swt  menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena tidak adanya unsur-unsur kepandaian, kesungguhan, dan keadaan alamiah dalam jual beli dan sebab-sebab lain yang menjadikan perniagaan pada dasarnya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sedangkan perbuatan riba pada dasarnya merusak kehidupan manusia, Islam telah mengatasi keadan-keadan yang terjadi pada masa itu dengan pengobatan yang nyata, tanpa menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial.


2.    Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah: 282

وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

3.    Firman Allah dalam Surah An-Nisa: 29

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.

            Mushtafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi menyatakan bahwa: memakan harta dengan cara yang batil adalah mengambil tanpa keridhaan dari pemilik harta atau menafkahkan harta bukan pada hakiki yang bermanfaat, maka termasuk dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual beli, riba dan menafkahkan harta pada jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh akal. Harta yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan harta itu menjadi miliknya.

            Selain ayat di atas banyak sekali firman Allah yang menjelaskan tentang jual beli. Dan terdapat beberapa hadist Nabi yang juga menerangkan jual beli, diantaranya adalah:

Dalam sabda Rasulullah Saw. disebutkan:

انّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلم سُئِلَ النّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم أىُّ الكَسْبِ أطْيَبُ؟ عملُ الرَجُلِ بيدهِ وكلُّ بيعٍ مبْرورٍ (رواه البزار والحاكم)

Nabi Muhammad Saw. pernah ditanya: apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.”

            Hadist Nabi diatas menyatakan usaha terbaik manusia adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri. Hal ini karena usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri menunjukkan bahwa manusia hidup wajib melakukan sesuatu baik untuk urusan dirinya ataupun keluarganya serta masyarakat pada umumnya. Jadi, jika dalam mencari uang tidak dibarengi dengan kerja keras serta risiko, seperti hanya duduk didepan komputer sambil bermain game untuk mendapatkan penghasilan adalah kegiatan sia-sia yang membuang waktu dan kesempatan.

 انّما البيعُ عن تراضٍ (رواه البيهقي)

“Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling ridha (suka sama suka).” (HR. Al-Baihaqi)

            Dalam ijma yang dikutip oleh Sayyid Sabiq ra dikatakan: “Umat telah sepakat akan kebolehan melakukan transaksi jual beli semenjak zaman Rasulullah hingga masa kini, dengan demikin syara` menetapkan mubahnya melakukan sebuah transaksi hingga ada argumen yang melarangnya.
           
            Dilihat dari kandungan ayat dan hadist di atas, para ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal jual beli adalah halal atau boleh. Hal ini disebabkan umat manusia sangat membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya contoh seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya, akan tetapi hukum asal ini sewaktu-waktu dapat berubah.

            Karena hukum asalnya adalah halal, maka apabila ada salah satu dalam berbagai macam jual beli dianggap haram, yang menganggap seperti demikian harus menunjukkan dalil keharamannya beserta alasannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa hukum muamalah itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Jual beli bisa menjadi wajib, kalau wali menjualharta anak yatim dalam keadaan terpaksa. Hal ini wajib juga bagi seorang qadhi yang menjual harta muflis (orang yang banyak hutangnya yng melebihi kapasitas hartanya); haram bagi jual beli barang yang dilarang oleh agama, melakukan jual beli yang dapat membahayakan manusia. Misalnya, menjual minuman keras, narkoba dan lain-lain. Sunnah jika jual beli itu dilakukan kepada teman/kenalanatau anak keluarga yang dikasihi dan juga kepada orang yang sangat memerlukan barang tersebut. Maka dari itu orang yang terjun pada dunia jual beli harus mengetahui bagaimana jual beli tersebut bisa menjadi halal ataupun fasid.

D.  Rukun Jual Beli
Arkan adalah bentuk jamak dari rukun. Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari sisi luar. Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan sikap saling tukar-menukar, dan saling memberi. Kemudian redaksi yang lain ijab qabul adalah perbuatan yang menunjukkan kesediaan dua belah pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain dengan menggunakan perkataan atau perbuatan.
Rukun jual beli ada tiga: kedua belah pihak yang berakad (aqidain), yang diadakan (ma`qud alaih), dan sighat (lafal).

1.    Ijab dan Kabul

a)    Pengertin Ijab dan Kabul
       Pengertian ijab qabul menurut  Hanafiah adalah “menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukkan kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad.” Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ijab adalah pernyataan yang disampaikan pertama oleh satu pihak yang menunjukkan kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual, maupun si pembeli. Adapun pengertian kabul adalah “pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu pihak yang melakukan akad.”  
            Dari definisi ijab dan kabul menurut Hanafiah tersebut dapat dikemukakan bahwa penetapan mana ijab dan mana kabul tergantung pada siapa yang terlebih dahulu mengucapkannya. Apa bila yang mengucapkan pertama kali si penjual, misalnya “saya menjual barang ini kepada anda dengan harga Rp.100.000,00,” maka pernyataan penjual ialah yang dinamakan ijab, sedangkan pernyataan pembeli “saya membeli barang ini....” adalah kabul. Sebaliknya, apabila yang menyatakan lebih dahulu si pembeli, maka pernyataan pembeli adalah ijab, dan pernyataan penjual adalah kabul.
       Menurut jumhur ulama, selain Hanafiah, pengertian ijab adalah pernyataan yang timbul dari orang yang memberikan kepemilikan, meskipun keluarnya belakangan. Sedangkan pengertian kabul adalah pernyataan yang timbul dari orang yeng akan menerima hak milik meskipun keluarnya pertama.
       Dari pengertian ijab dan kabul yang dikemukakan oleh jumhur ulama tersebut dapat dipahami bahwa penentuan ijab dan kabul bukan dilihat dari siapa yang lebih dahulu menyatakan, melainkan dari siapa yang memiliki dan siapa yang akan memiliki.
            Dalam konteks jual beli yang memiliki barang adalah penjual, sedangkan yang akan memilikinya adalah pembeli. Dengan demikian, pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual adalah ijab, meskipun datangnya belakangan, sedangkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli adalah kabul, meskipun dinyatakan pertama kali.
b)   Sighat Ijab dan Kabul

Sighat akad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan kabul apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh dua belah pihak, atau ijab saja apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh satu pihak.Para ulama sepakat bahwa landasan untuk terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau persetujuan kedua belah pihak untuk merealisasikan kewajiban diantara mereka, yang oleh para ulama disebut sighat akad. Dalam sighat akad disyratkan harus timbul dari pihak-pihak yang melakukan akad menurut cara yang dianggap sah oleh syara`. Cara tersebut adalah bahwa akad harus menggunakan lafal yang menunjukkan kerelaan dari masing-masing pihak untuk saling tukar-menukar kepemilikan dalam harta, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku.

Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.

Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, karelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah Saw. bersabda:

عن أبي هريرة ر ض عن النبي ص م قال لايَخْتَرِقَنَّ اثنان إلا عن تراضٍ (رواه ابو داود و الترمذى)

Dari Abi Hurairah r.a dari Nabi Saw. bersabda: janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai. (HR. Abu Dauddan Tirmidzi)

قال انبي ص م إنما البيع عن تراض (رواه ابن مجاه)
Rasulullah Saw. bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan (HR. Hibban dan Ibn Majah)

Menurut Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah, baik akad jual beli ataupun akad nikah, hukumnya sah dengan menggunakan lafal astid`a` (amar atau istifham), karena yang terpenting dalam akad jual beli adalah kerelaan (at-taradhi).

c)    Sifat Ijab dan Kabul
            Akad terjadi karena adanya ijab dan kabul. Apabila ijab sudah diucapkan, tetapi kabul belum keluar, maka ijab sudah disambut dengan kabul dalam proses selanjutnya , apakah akad sudah mengikat salah satu pihak selama masih berada di majelis akad masih mempunyai kesempatan untuk memilih mundur atau meneruskan akad. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapt dikalangan ulama.
1.    Menurut Hanafiah, Malikiyah, dan tujuh fukaha Madinah dari kalangan tabi`in, akad langsung mengikat begitu ijab dan kabul selesai dinyatakan. Hal tersebut disebabkan akad jual beli merupakan akad mu`awadhah, yang langsung mengikat setelah kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan ijab dan kabulnya,tanpa memerlukan khiyar majlis. Artinya, apabila penjual sudah mengatakan ijab dan pembeli sudah menyatakan kabul, maka bagi salah satu pihak tidak ada kesempatan untuk memilih mundur dari transaksi, atau dengan kata lain tidak ada khiyar majlis setelah terjadinya ijab dan kabul. Khiyar majlis bisa dilakukan sebelum terjadinya ijab dan kabul. Masing-masing pihak pada saat
itu diperbolehkan memilih antara meneruskan akad jual beli atau membatalkannya.
2.    Menurut Imam Syafi`iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishak, apabila akad telah terjadi dengan bertemunya ijab dan kabul, maka akad menjadi jaiz (boleh), yakni tidak mengikat, selama para pihak masih berada di majlis akad. Masing-masing pihak boleh melakukan khiyar (memilih) antara membatalkan jual beli atau meneruskannya, selama keduanya masih berkumpul dan belum berpisah. Perpisahan tersebut didasarkan oleh `urf atau adat kebiasaan, yaitu keduanya berpisah dari tempat dimana keduanya melakukan transaksi jual beli. perpisahan yang dimaksud disini adalah perpisahan secara fisik (badan). Hal inilah yang dimaksud dengan khiyar majlis.

2.    Aqid (Penjual dan Pembeli)
       Rukun jual beli yang kedua adalah `aqaid atau orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli. Secara umum, penjual dan pembeli orang yang memiliki ahliyah (kecakapan) dan wilayah (kekuasaan). Persyratan penjual dan pembeli secara terperinci akan kami jelaskan dalam pembahasan berikutnya, yaitu dalam pembahasan syarat-syarat jual beli.

3.    Ma`qud `alaihi (Objek Akad Jual Beli)
            Ma`qud `alaih atau objek jual beli adalah barang yang dijual (mabi`) dan harga atau uang (tsaman). Uraian lebih rincinya akan kami jelaskan pada pembahasan syarat-syarat jual beli.

E.  Syarat-syarat Jual Beli
       Transaksi jual beli tidaklah cukup hanya dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas, akan tetapi dibalik rukun-rukun tersebut haruslah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli, baik itu si penjual maupun si pembeli.
       Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, antara lain sebagai berikut.
1.        Syarat (عاقد) bagi orang yang melakukan akad antara lain:
a.       Balig (berakal)
Allah Swt. berfirman:

وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang bukan ahli tasaruf tidak boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab dan kabul).

b.      Beragama Islam, hal ini berlaku untuk pembeli bukan penjual, hal ini dijadikan syarat karena dikhawatirkan jika orang yang membeli adalah orang kafir, maka mereka akan merendahkan atau menghina Islam dan kaum muslim.
c.       Tidak dipaksa.

2.         Syarat (معقود عليه) barang yang diperjualbelikan, antara lain:
a.       Suci atau mungkin disucikan, tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing, babi dan lain-lain, Rasulullah Saw. bersabda:

عن جابر رضى الله عنه أنَّ رسول لله صلى الله عليه وسلم قال إنَّ الله ورسوله حرَّحَ بيع الخمر والخنزير والأصنام (رواه البخارى ومسلم)

Dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw.bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul  telah mengharamkan jual beli arak, bangkai, babi dan berhala. (HR bukhari dan muslim)

Menurut riwayat lain dari Nabi dinatakan “kecuali anjing untukberburu” boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi`iyah bahwa sebab keharaman arak, bangkai, anjing dan babi karena najis, berhala bukan karena najis, namun karena tidak ada manfaatnya.

b.      Memberi manfaat untuk Syara`, maka dilarang menjual belikan benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut Syara`, seperti menjual babi, kala, cecak, dan yang lainnya.

c.       Barang itu ada, atau tidak ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupan untuk mengadakan barang itu. Misalnya, barang tersebut ada di toko atau di pabrik dan yang lainnya disimpan di gudang. Namun yang penting, pada saat diperlukan barang itu sudah ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati bersama.

d.      Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan “ku jual kepada tuan motor ini selama satu tahun,” maka penjual tersebut tidak sah sebab jual beli adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan Syara`.

e.       Dapat diserahkan secara cepat maupun lambat, tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat di tangkap lagi, barang-barang yang sudah hilang atau barang yang sulit untuk diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak diketahui dengan pasrti ikan tersebut sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-ikan yng sama.

f.       Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.

g.      Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, jenisnya, atau ukuran-ukura lainnya. Maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak. Dalam sebuah hadist disbutkan.

عن أبي هريره رضي الله عنه قال نهى رسل الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحُصَاةِ وعن بيع الغَرَرِ (رواه مسلم)

                                                                                                                         Dan abi Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah Saw. telah melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan. (HR. Muslim)

3.        Syarat sah ijab kabul
a.    Tidak ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
b.    Tidak diselingi kata-kata lain.
c.    Tidak ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain. Misalnya, jika bapakku mati, maka akan aku jual padamu.
d.   Tidak dibatasi waktu. Misalnya, “barang ini aku jual padamu satu bulan saja.”
e.    Ada kesepakatan ijab dan kabul pada orang yang saling merelakan berupa barang yang dijual dan harga barang.
f.     Ungkapan harus menunjukkan masa lalu (madhi) seperti perkataan penjual: “aku telah beli,” dan perkataan pembeli : “ aku telah menerima,” atau masa sekarang (mudhori`) jika yang diinginkan pada waktu itu.

Menurut Ulama Syafi`iyah ijab dan kabul ialah:
لاينعقِد البيع إلَّا بالصفة الكلامية

Tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab dan kabul) yang diucapkan.

Imam Malik berpendapat :

إنَّ البيعَ قَدْوقعَ وقدلزم بالاستفهام

Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja.

Pendapat ketiga ialah menyampaikan akad dngan perbuatan atau disebut juga dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu`athah yaitu:

المعاطة وهى الأخذ والإعطاء بدون كلام كأن يشتري شيئا ثمنه معلومُ له فالأخْذَ من البائع ويعطيه الثمن وهو يملك بالقبض

Aqad bil mu`athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan ijab dan kabul, sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran.


D.      Saksi Dalam Jual Beli

Saksi dalam jual beli adalah pihak ke tiga atau lebih, dari sebuah kejadian atau transaksi, yang sengaja atau tidak sengaja secara langsung (tanpa perantara) menyaksikan atau mengetahui kejadian atau transaksi tersebut. Segala macam berakad ada baiknya kita menghadirkan saksi, supaya tidak ada keraguan untuk kita dalam melaksanakan segala akad.

Allah memerintahkan perlunya saksi dalam jual beli, sebagaimana dalam firman Allah yang dituangkan dalam Al-Qur`an yaitu:

وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli
            Perintah disini menurut Sayyid Sabiq menunjukkan sunnah (demi kemaslahatan) bukan wajib, sebagaimana juga pendapat Imam Mazhab umumnya, kecuali `Ata dan al-Nakh`i, maka tidak dianjurkan mempersilahkannya. Ini adalah pendapat Imam Syari`i, Hanafiyah, Ishak, dan Ayub. Adapun menurut  Ibnu  Qudamah, bahwa mendatangkan saksi dalam jual beli adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abas dan diikuti oleh Atha dan Jabir.
            Mengingat perintah ini juga anjuran dari Allah SWT bagi siapa saja yang melaksanakan jual beli. demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat menghindarkan terjadinya perselisihan dan menjauhkan dari sikap menyangkal atau buruk sangka.
F.   Khiyar dalam Jual Beli
            Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara melangsungkan atau membatalkan. Sedangkan khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkan memilih apakah jual beli itu diteruskan ataukah dibatalkan, karena terjadinya sesuatu hal.

            Bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah bersabda: masing-masing penjual dan pembeli, tidak akan terjadi jual beli di antara mereka sampai mereka berpisa, kecuali dengan jual beli khiyar.

            Macam-macam khiyar dalam jual beli adalah sebagai berikut:
1.    Khiyar Majlis, yaitu apabila akad dalam jual beli telah terlaksana dari pihak penjual dan pembeli, maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama keduanya masih berada dalam tempat akad (majlis).
2.    Khiyar Syarat, adalah penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli.
3.    Khiyar `Aibi (cacat), yaitu yang dimaksudkan adalah apabila barang yang telah dibeli ternyata ada keruskan atau cacat sehingga pembeli berhak mengembalkan barang tersebut kepada penjual.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jual beli adalah tukar-menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara` atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Barang tersebut dipertukarkan dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat dibenarkan disini berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan mata uang lainnya.

Adapun rukun jual beli adalah:
1.        Ijab dan kabul 
2.        Aqid (penjual dan pembeli)
3.        Ma`qud `alaihi (Objek Akad Jual Beli

Dan di dalam jual beli juga terdapat syarat-syaratnya yaitu:
1.        Syarat (عاقد) bagi orang yang melakukan akad antara lain:
a.       Balig (berakal)
b.      Beragama Islam
c.       Tidak dipaksa
2.        Syarat (معقود عليه) barang yang diperjualbelikan, antara lain:
a.         Suci atau mungkin disucikan
b.         Memberi manfaat untuk Syara`
c.         Barang itu ada
d.        Tidak dibatasi waktu
e.         Dapat diserahkan secara cepat maupun lambat
f.          Milik sendiri
g.         Diketahui atau terlihat
3.        Syarat sah ijab kabul adalah sebagai berikut
a.         Tidak ada yang membatasi (memisahkan)
b.         Tidak diselingi kata-kata lain
c.         Tidak ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain
d.        Tidak dibatasi oleh waktu
e.         Ada kesepakatan ijab dan kabul
f.          Ungkapan harus menunjukkan madhi dan mudhari.

Saksi dalam jual beli adalah pihak ke tiga atau lebih, dari sebuah kejadian atau transaksi, yang sengaja atau tidak sengaja secara langsung (tanpa perantara) menyaksikan atau mengetahui kejadian atau transaksi tersebut. Segala macam berakad ada baiknya kita menghadirkan saksi, supaya tidak ada keraguan untuk kita dalam melaksanakan segala akad.

Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara melangsungkan atau membatalkan. Sedangkan khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkan memilih apakah jual beli itu diteruskan ataukah dibatalkan, karena terjadinya sesuatu hal. Macam-macam khiyar dalam jual beli adalah sebagai berikut:
1.        Khiyar Majlis
2.        Khiyar Syarat
3.        Khiyar `Aibi (cacat)

B.     Saran
Kami menyarankan bagi pembaca agar dapat mengamalkan atau mengimplementasikan dari apa-apa yang dudah dijelaskan dan dipaparkan dalam makalah. Karena manusia adalah mahluk sosial yang akan melakukan transaksi jual beli dan alangkah baiknya jika melakukan transaksi jual beli tersebut jika dengan pendoman hukum Syara`.































DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an Al-Karim.
Az-Zuhaili, wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz V. Beirut: Dar al-Fikr.
Hasbi, ash-Shiddieqy. 1974. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta :Bulan Bintang.
Ihsan, Ghufron, dkk. 2008. Fiqh Muamalat. Jakarta: Prdana Media Grup.
Imam Abi Zakariya al-Anshari.  T.T. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
Imam Ahmad bin Husain. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya: al-Hidayah.
Imam Taqiyuddin. Kifayah al-AkhyarI, Juz I, Semarang:Toha Putra.
Lubis, Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Lubis, Suhrawardi. 2004. Hukum Ekonomi Islam, cet. III. Jakarta: Sinar Grafika.
Suhedi, Hendi. 2014. Fikih Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Surya, Hariman Siregar, dan Koko Khoerudin. 2019. Fikih Muamalah Teori dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hasan, M Ali. 2000. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pena.
Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), cet I. Jakarta: PT Taja Grafindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar