MAKALAH
JUAL BELI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II
Dosen : Drs.
H. Mugiyono, M.PdI.
OLEH :
Ahmad Zul Hikam (31.19.093)
Nurhasanah (31.19.095)
Akrom Maulana (31.19.104)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
Tahun 2019/2020
KATA PENGANTAR
Segala puji kami haturkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hikmah, hidayah, pengetahuan,
kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah kami yang berjudul “JUAL
BELI” dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dosen Drs. H. Mugiyono, M.PdI pada mata kuliah
Fiqih II. Selain itu, makalah ini bertujuan agar
pembaca dan kami pribadi sebagai pemakalah dapat mengetahui dan menjelaskan
pengertian dari jual beli, rukun-rukun, syarat-syarat serta siapa saja yang
bisa menjadi saksi dalam jual beli, karena manusia adalah mahluk sosial yang
pasti akan melaksanakan transaksi jual beli, maka kita harus paham dengan fiqih
muamalah tentang jual beli tersebut agar kita tidak keluar dari ajaran syari`at
agama Islam.
Kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dosen Drs.
H. Mugiyono, M.PdI yang telah memberikan tugas ini sehinga kami dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mengamalkan sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami
sadar sepenuhnya, jika dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun menuju
kesempurnaan dari pembaca untuk kesempurnaan makalah kami yang akan datang.
Jakarta, 24 Maret 2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG............................................................................. 1
B.
RUMUSAN
MASALAH......................................................................... 1
C.
TUJUAN
PENULISAN........................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jual Beli................................................................................... 2
B.
Dasar
Hukum Jual Beli.............................................................................. 5
C.
Rukun
Jual Beli......................................................................................... 7
D.
Syarat-syarat
Jual Beli............................................................................... 10
E.
Saksi
Dalam Jual Beli................................................................................ 13
F.
Khiyar
dalam Jual Beli.............................................................................. 13
BAB III PENUTUP
A.
KESIMPULAN........................................................................................ 14
B.
SARAN..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Jual beli sendiri adalah
menukar barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Dan ada juga yang
mendefinisikan jual beli adalah pemilikan harta benda dengan jalan tukar
menukar yang sesuai dengan aturan Syara`. Dengan kita membaca dan mempelajari
makalah ini kita sebagai generasi selanjutnya dapat menerapkan dan mengimplementasikan
fikih mualamah tentang jual beli ini, karena kita adalah mahluk sosial yang
tidak akan mungkin tidak melaksanakan jual beli.
Dengan kita mengetahui
bagaimana rukun dan syarat dari jual beli, hidup kita akan terasa lebih terarah
karena kita melaksanakan aturan syara` pada agama kita. Bahkan rantai
pengetahuan dan wawasan kita tidak akan berhenti pada kita pasti akan ada
generasi selanjutnya yang akan melanjutkan rantai wawasan dan pengetahuan
tersebut selagi kita mengamalkan ilmu jual beli ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian jual beli itu?
2.
Apa
syarat-syarat dari jual beli?
3.
Apa
rukun-rukun dari jual beli?
4.
Siapa
saja yang dapat menjadi saksi saat jual beli?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari jual beli sendiri,
2.
Untuk
mengetahui apa saja syarat-syarat dalam jual beli,
3.
Untuk
mengetahui apa saja rukun-rukun dalam jual beli, dan
4.
Untuk
mengetahui siapa saja yang bisa menjadi saksi dalam jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual Beli
Sebelum kita membahas jual beli secara luas, maka terlebih dahulu
kita akan mengemukakan jual beli secara etimologi. Jual beli dalam bahasa arab
disebut ba`i yang secara bahasa adalah tukar menukar. Dalam buku yang lain,
kata jual beli mengandung satu pengertian, yang berasal dari bahasa arab yaitu
ba`i, yang jamaknya adalah buyu`i dan konjungsinya adalah ba`a-yabi`u-bai`an
yang berarti “menjual”. Sementara itu menurut Wahbah Zuhaily mengartikannya
secara bahasa dengan “menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Muhammad Ali
Hasan dalam bukunya yang berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam
(fikih Islam) mengemukakan bahwa pengertian jual beli menurut bahasa, yaitu:
Jual beli (البيع) artinya “menjual, mengganti, dan menukar (sesuatu dengan
sesuatu yang lain).” Kata البيع dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian
lawannya, yaitu kata شرا (beli). dengan demikian, kata البيع berarti kata “jual” dan
sekaligus juga berarti kata “beli”.
Pemahaman atas pengertian semacam
ini juga diungkapkan oleh Zakariyya al-Anshory dalam Kitab Fathul Wahhab
dimana beliau memberikan definisi jual beli secara lughawi sebagai
berikut:
مَقَابَلَةُ
شَيْئٍ بِشَيْئٍ
Jual beli menurut arti
bahasa adalah menghadapkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah
al-Akhyar, juga mendefinisikan jual beli (البيع) secara bahasa, sebagai berikut:
إعطاء شيء في مقابلة شيء
Mebemberikan sesuatu karena
ada pemberian (imbalan yang tertentu).
Dalam surat Al-Fathir
ayat 29 Allah berfirman:
يَرْجُونَ تِجَٰرَةً لَّن تَبُورَ
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak
akan rugi
Adapun pengertian jual beli secara istilah/terminologi,
sebagaimana dikemukakan oleh para Fukaha adalah sebagai berikut.
1.
Menurut Sayyid
Sabiq, jual beli adalah “Penukaran benda dengan benda lain, saling merelakan
dengan cara yang diperbolehkan.”
2.
Menurut Hasbi
ash-Shiddieqy, jual beli adalah “Akad yang tegak atas dasar penukaran harta
dengan harta, maka terjadilah hak milik secara tetap.
3.
Menurut Ibnu
Qadamah, jual beli adalah “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik.”
4.
Dalam Kitab Fiqih
Al-Syafi`iyah, hlm 5 jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang
dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain
atas dasar saling merelakan.
Jual
beli dalam pengertian syara` terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh
ulama mazhab. Meskipun terdapat perbedaan, subtansi dan perbedaan masing-masing
definisinya sama. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:
وهو
بيع العين بالنقدين الذهب والفضة ونحوهما أو مبادلة السلعة بالنقد أو نحوه على وجه
مخصوص
Jual
beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan semacamnya,
atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.
Definisi
ini terkandung arti bahwa cara khusus yang dimaksudkan oleh ulama Hanafiyah adalah
melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (pernyataan menjual dari
penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari
penjual dan pembeli. Akan tetapi, harta yang diperjual belikan haruslah yang
bermanfaat bagi manusia. Apabila jenis barang-barang seperti itu tetap
diperualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.
Definisi lain dikemukakan oleh ulama
Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hanabilah menurut mereka jual beli adalah:
مبادلة
المال بالمال تمليكا وتملكا
Pertukaran
harta dengan harta, dalam bentuk pemindahan hak milik dan hak pemilikan.
Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan المال (harta), terdapat perbedaan pengertian
antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Akibat dari perbedaan ini, muncul
pula hukum-hukum yang berkaitan dengan jual beli itu sendiri. Menurut jumhur
ulama, yang dimaksud dengan المال
adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu, manfaat dari suatu benda (menurut
mereka) dapat diperjualbelikan. Ulama
Hanafiyah mengartikan المال dengan suatu materi yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu,
manfaat dan hak-hak (menurut mereka) tidak boleh dijadikan objek jual beli.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami
bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara sukarela di antara dua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan Syara` dan di sepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya
ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada
kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukun-rukunnya tidak
terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak Syara`.
Benda dapat mencangkup pengertian barang dan
uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda
yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya oleh Syara`. Benda itu ada kalanya
bergerak (dipindahkan) dan ada kalanya tetap (tidak dapat dipindahkan), ada
yang dapat dibagi-bagi, ada kalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada
perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan
yang lainnya. Penggunaan harta tersebut diperbolehkan sepanjang tidak dilarang
Syara`.
Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang
terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual beli tersebut dipandang
batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.
Jual
beli menurut Ulama Malikiyah ada dua macam:
1.
Jual beli yang bersifat umum
Jual beli umum adalah suatu perikatan tukar menukar sesuatu
yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan.Tukar menukar, yaitu satu pihak
menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain.
Sesuatu yang bukan manfaat itu adalah bahwa benda yang ditukarkan adalah zat
(berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau
bukan hasilnya.
2.
Jual beli yang bersifat khusus
Jual
beli khusus adalah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan
bukan kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan
pula perak, bendanya dapat direalisasikan dan ada seketika, tidak merupakan
utang baik barang itu ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah
diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.
Adapun
definisi dari sebagian ulama yang mengatakan jual beli adalah menukar satu
harta dengan harta lainnya dengan cara khusus merupakan definisi yang bersifat
toleran jadi menjadikan jual beli sebagai saling menukar, sebab pada dasarnya akad
tidak harus saling tukar, tetapi menjadi bagian dari konsekuensinya, kecuali
jika dikatakan: Akad yang mempunyai sifat saling tukar menukar artinya menuntut
adanya satu pertukaran.
Oleh
sebab itu sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar`i sebagai akad
yang mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara
khusus. Ada juga yang menyebutkan kata akad untuk terjalinnya satu akad atau
hak milik yang lahir dari sebuah akad seperti dalam ucapan seseorang “fasakhtu
al-bai`a” artinya jka akad yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan lagi,
walaupun maksud yang sebenarnya adalah membenarkan hal-hal yang menjadi akibat
dari akad. Dari pendapat di atas dapat diambil beberapa faedah, dimana jual
beli terdapat tiga sebutan; sebutan untuk tamlik dan akad,dan juga untuk
menukar satu benda dengan benda lain
secara mutlak, dan yang terakhir untuk istilah syira` (membeli) yang
merupakan tamalluk (menjadi hak milik).
Beberapa
definisi di atas dapat diketahui bahwa secara garis besar jual beli adalah
tukar-menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk
yang diperbolehkan oleh syara` atau menukarkan barang dengan barang atau barang
dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang
lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Barang tersebut dipertukarkan dengan
alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat
dibenarkan disini berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat
pembayaran yang sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan mata
uang lainnya.
Dalam
tukar-menukar barang tersebut, nilai barang yang ditukarkan harus seimbang,
disertai akad yang mengarah pada pemilikan hak milik terhadap masing-masing harta itu dengan asas
saling ridha sesuai dengan aturan dan ketentuan hukum. Kalimat yang dimaksud
sesuai dengan ketentuan hukum adalah memenuhi persyaratan-persyaratan,
rukun-rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli.
B. Hukum Dasar Jual Beli
Jual
beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan
yang sangat kuat dalam Islam. Islam mendorong seseorang untuk melakukan jual
beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan merumuskan tata cara
untuk memperoleh harta sehingga dengan adanya perintah untuk melakukan jual
beli, maka antara sesama manusia akan tercipta rasa kebersamaan, rasa tolong
menolong dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Semua itu karena manusia
adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Jual
beli di Syari`atkan berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan Ijma`. Dilihat dari
aspek hukum, jual beli hukumnya mubah kecuali jual beli yang dilarang oleh
syara`, terdapat sejumlah ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang jual beli, di
antaranya:
1.
Firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah: 275
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ
اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ
بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ
فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ
فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat
peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya
dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal
Al-Qur`an mengemukakan bahwa:
Allah Swt menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,
karena tidak adanya unsur-unsur kepandaian, kesungguhan, dan keadaan alamiah
dalam jual beli dan sebab-sebab lain yang menjadikan perniagaan pada dasarnya
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sedangkan perbuatan riba pada dasarnya merusak
kehidupan manusia, Islam telah mengatasi keadan-keadan yang terjadi pada masa
itu dengan pengobatan yang nyata, tanpa menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial.
2.
Firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah: 282
وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ
كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيْمٌ
Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah
penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah,
Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
3.
Firman
Allah dalam Surah An-Nisa: 29
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا
اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيْمًا
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
Mushtafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi
menyatakan bahwa: memakan harta dengan cara yang batil adalah mengambil
tanpa keridhaan dari pemilik harta atau menafkahkan harta bukan pada hakiki
yang bermanfaat, maka termasuk dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam
jual beli, riba dan menafkahkan harta pada jalan yang diharamkan, serta
pemborosan dengan mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh
akal. Harta yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam
transaksi antara orang yang memakan harta itu menjadi miliknya.
Selain ayat di atas banyak sekali
firman Allah yang menjelaskan tentang jual beli. Dan terdapat beberapa hadist
Nabi yang juga menerangkan jual beli, diantaranya adalah:
Dalam sabda Rasulullah Saw. disebutkan:
انّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلم سُئِلَ النّبيُّ صلّى الله عليه
وسلّم أىُّ الكَسْبِ أطْيَبُ؟ عملُ الرَجُلِ بيدهِ وكلُّ بيعٍ مبْرورٍ (رواه
البزار والحاكم)
Nabi
Muhammad Saw. pernah ditanya: apakah profesi yang paling baik? Rasulullah
menjawab: “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.”
Hadist Nabi diatas menyatakan usaha
terbaik manusia adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri. Hal ini
karena usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri menunjukkan bahwa manusia
hidup wajib melakukan sesuatu baik untuk urusan dirinya ataupun keluarganya
serta masyarakat pada umumnya. Jadi, jika dalam mencari uang tidak dibarengi
dengan kerja keras serta risiko, seperti hanya duduk didepan komputer sambil
bermain game untuk mendapatkan penghasilan adalah kegiatan sia-sia yang
membuang waktu dan kesempatan.
انّما البيعُ عن تراضٍ (رواه البيهقي)
“Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar
saling ridha (suka sama suka).” (HR. Al-Baihaqi)
Dalam ijma yang dikutip oleh Sayyid
Sabiq ra dikatakan: “Umat telah sepakat akan kebolehan melakukan transaksi jual
beli semenjak zaman Rasulullah hingga masa kini, dengan demikin syara`
menetapkan mubahnya melakukan sebuah transaksi hingga ada argumen yang
melarangnya.
Dilihat dari kandungan ayat dan
hadist di atas, para ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal jual beli adalah
halal atau boleh. Hal ini disebabkan umat manusia sangat membutuhkan jual beli
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya contoh seperti makan, minum, pakaian, tempat
tinggal dan lain sebagainya, akan tetapi hukum asal ini sewaktu-waktu dapat
berubah.
Karena hukum asalnya adalah halal,
maka apabila ada salah satu dalam berbagai macam jual beli dianggap haram, yang
menganggap seperti demikian harus menunjukkan dalil keharamannya beserta
alasannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa hukum muamalah itu boleh,
sampai ada dalil yang mengharamkannya. Jual beli bisa menjadi wajib, kalau wali
menjualharta anak yatim dalam keadaan terpaksa. Hal ini wajib juga bagi seorang
qadhi yang menjual harta muflis (orang yang banyak hutangnya yng
melebihi kapasitas hartanya); haram bagi jual beli barang yang dilarang oleh
agama, melakukan jual beli yang dapat membahayakan manusia. Misalnya, menjual
minuman keras, narkoba dan lain-lain. Sunnah jika jual beli itu dilakukan
kepada teman/kenalanatau anak keluarga yang dikasihi dan juga kepada orang yang
sangat memerlukan barang tersebut. Maka dari itu orang yang terjun pada dunia
jual beli harus mengetahui bagaimana jual beli tersebut bisa menjadi halal
ataupun fasid.
D.
Rukun Jual Beli
Arkan
adalah bentuk jamak dari rukun. Rukun sesuatu berarti sisinya yang paling kuat,
sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu akad dari
sisi luar. Rukun jual beli menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul yang
menunjukkan sikap saling tukar-menukar, dan saling memberi. Kemudian redaksi
yang lain ijab qabul adalah perbuatan yang menunjukkan kesediaan dua belah
pihak untuk menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain dengan
menggunakan perkataan atau perbuatan.
Rukun
jual beli ada tiga: kedua belah pihak yang berakad (aqidain), yang diadakan
(ma`qud alaih), dan sighat (lafal).
1.
Ijab dan Kabul
a)
Pengertin
Ijab dan Kabul
Pengertian ijab qabul
menurut Hanafiah adalah “menetapkan
perbuatan yang khusus yang menunjukkan kerelaan, yang timbul pertama dari salah
satu pihak yang melakukan akad.” Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
ijab adalah pernyataan yang disampaikan pertama oleh satu pihak yang menunjukkan
kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual, maupun si pembeli. Adapun pengertian
kabul adalah “pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu
pihak yang melakukan akad.”
Dari definisi ijab
dan kabul menurut Hanafiah tersebut dapat dikemukakan bahwa penetapan mana ijab
dan mana kabul tergantung pada siapa yang terlebih dahulu mengucapkannya. Apa
bila yang mengucapkan pertama kali si penjual, misalnya “saya menjual barang
ini kepada anda dengan harga Rp.100.000,00,” maka pernyataan penjual ialah
yang dinamakan ijab, sedangkan pernyataan pembeli “saya membeli barang
ini....” adalah kabul. Sebaliknya, apabila yang menyatakan lebih dahulu si
pembeli, maka pernyataan pembeli adalah ijab, dan pernyataan penjual adalah
kabul.
Menurut jumhur ulama,
selain Hanafiah, pengertian ijab adalah pernyataan yang timbul dari orang yang
memberikan kepemilikan, meskipun keluarnya belakangan. Sedangkan pengertian
kabul adalah pernyataan yang timbul dari orang yeng akan menerima hak milik
meskipun keluarnya pertama.
Dari pengertian ijab
dan kabul yang dikemukakan oleh jumhur ulama tersebut dapat dipahami bahwa
penentuan ijab dan kabul bukan dilihat dari siapa yang lebih dahulu menyatakan,
melainkan dari siapa yang memiliki dan siapa yang akan memiliki.
Dalam konteks jual
beli yang memiliki barang adalah penjual, sedangkan yang akan memilikinya
adalah pembeli. Dengan demikian, pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual
adalah ijab, meskipun datangnya belakangan, sedangkan pernyataan yang
dikeluarkan oleh pembeli adalah kabul, meskipun dinyatakan pertama kali.
b)
Sighat
Ijab dan Kabul
Sighat
akad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan kabul apabila akadnya akad iltizam
yang dilakukan oleh dua belah pihak, atau ijab saja apabila akadnya akad iltizam
yang dilakukan oleh satu pihak.Para ulama sepakat bahwa landasan untuk
terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau
persetujuan kedua belah pihak untuk merealisasikan kewajiban diantara mereka,
yang oleh para ulama disebut sighat akad. Dalam sighat akad disyratkan harus
timbul dari pihak-pihak yang melakukan akad menurut cara yang dianggap sah oleh
syara`. Cara tersebut adalah bahwa akad harus menggunakan lafal yang
menunjukkan kerelaan dari masing-masing pihak untuk saling tukar-menukar
kepemilikan dalam harta, sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku.
Pada
dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin,
misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat menyurat yang
mengandung arti ijab dan kabul.
Adanya
kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, karelaan
dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan
kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah Saw. bersabda:
عن أبي هريرة ر ض عن النبي ص م قال لايَخْتَرِقَنَّ اثنان إلا عن
تراضٍ (رواه ابو داود و الترمذى)
Dari Abi Hurairah r.a dari Nabi Saw. bersabda: janganlah dua orang
yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai. (HR. Abu Dauddan Tirmidzi)
قال انبي ص م إنما البيع عن تراض (رواه ابن مجاه)
Rasulullah Saw.
bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan (HR. Hibban
dan Ibn Majah)
Menurut
Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah, baik akad jual beli ataupun akad nikah,
hukumnya sah dengan menggunakan lafal astid`a` (amar atau istifham),
karena yang terpenting dalam akad jual beli adalah kerelaan (at-taradhi).
c)
Sifat
Ijab dan Kabul
Akad terjadi
karena adanya ijab dan kabul. Apabila ijab sudah diucapkan, tetapi kabul belum
keluar, maka ijab sudah disambut dengan kabul dalam proses selanjutnya , apakah
akad sudah mengikat salah satu pihak selama masih berada di majelis akad masih
mempunyai kesempatan untuk memilih mundur atau meneruskan akad. Dalam masalah
ini terdapat perbedaan pendapt dikalangan ulama.
1.
Menurut
Hanafiah, Malikiyah, dan tujuh fukaha Madinah dari kalangan tabi`in, akad
langsung mengikat begitu ijab dan kabul selesai dinyatakan. Hal tersebut
disebabkan akad jual beli merupakan akad mu`awadhah, yang langsung
mengikat setelah kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan ijab dan
kabulnya,tanpa memerlukan khiyar majlis. Artinya, apabila penjual sudah
mengatakan ijab dan pembeli sudah menyatakan kabul, maka bagi salah satu pihak
tidak ada kesempatan untuk memilih mundur dari transaksi, atau dengan kata lain
tidak ada khiyar majlis setelah terjadinya ijab dan kabul. Khiyar majlis bisa
dilakukan sebelum terjadinya ijab dan kabul. Masing-masing pihak pada saat
itu
diperbolehkan memilih antara meneruskan akad jual beli atau membatalkannya.
2.
Menurut
Imam Syafi`iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishak, apabila akad telah
terjadi dengan bertemunya ijab dan kabul, maka akad menjadi jaiz (boleh),
yakni tidak mengikat, selama para pihak masih berada di majlis akad.
Masing-masing pihak boleh melakukan khiyar (memilih) antara membatalkan
jual beli atau meneruskannya, selama keduanya masih berkumpul dan belum
berpisah. Perpisahan tersebut didasarkan oleh `urf atau adat kebiasaan,
yaitu keduanya berpisah dari tempat dimana keduanya melakukan transaksi jual
beli. perpisahan yang dimaksud disini adalah perpisahan secara fisik (badan).
Hal inilah yang dimaksud dengan khiyar majlis.
2.
Aqid (Penjual dan Pembeli)
Rukun jual beli yang kedua adalah `aqaid atau orang yang melakukan
akad, yaitu penjual dan pembeli. Secara umum, penjual dan pembeli orang yang
memiliki ahliyah (kecakapan) dan wilayah (kekuasaan). Persyratan penjual dan
pembeli secara terperinci akan kami jelaskan dalam pembahasan berikutnya, yaitu
dalam pembahasan syarat-syarat jual beli.
3.
Ma`qud `alaihi (Objek Akad Jual Beli)
Ma`qud
`alaih atau objek jual beli adalah barang yang dijual (mabi`) dan harga atau
uang (tsaman). Uraian lebih rincinya akan kami jelaskan pada pembahasan
syarat-syarat jual beli.
E.
Syarat-syarat Jual Beli
Transaksi jual beli tidaklah cukup hanya dengan rukun-rukun yang
telah disebutkan di atas, akan tetapi dibalik rukun-rukun tersebut haruslah ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang melakukan
transaksi jual beli, baik itu si penjual maupun si pembeli.
Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, antara lain sebagai berikut.
1.
Syarat
(عاقد) bagi orang yang melakukan akad antara
lain:
a.
Balig
(berakal)
Allah Swt. berfirman:
وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ
أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا
وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang bukan ahli tasaruf tidak
boleh melakukan jual beli dan melakukan akad (ijab dan kabul).
b.
Beragama
Islam, hal ini berlaku untuk pembeli bukan penjual, hal ini dijadikan syarat
karena dikhawatirkan jika orang yang membeli adalah orang kafir, maka mereka
akan merendahkan atau menghina Islam dan kaum muslim.
c.
Tidak
dipaksa.
2.
Syarat (معقود عليه) barang yang diperjualbelikan, antara lain:
a.
Suci
atau mungkin disucikan, tidak sah menjual barang yang najis, seperti anjing,
babi dan lain-lain, Rasulullah Saw. bersabda:
عن جابر رضى الله عنه أنَّ رسول لله صلى الله عليه وسلم قال إنَّ الله
ورسوله حرَّحَ بيع الخمر والخنزير والأصنام (رواه البخارى ومسلم)
Dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw.bersabda, sesungguhnya Allah
dan Rasul telah mengharamkan jual beli
arak, bangkai, babi dan berhala. (HR bukhari dan muslim)
Menurut riwayat lain dari Nabi dinatakan “kecuali anjing
untukberburu” boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi`iyah bahwa sebab keharaman
arak, bangkai, anjing dan babi karena najis, berhala bukan karena najis, namun
karena tidak ada manfaatnya.
b.
Memberi
manfaat untuk Syara`, maka dilarang menjual belikan benda-benda yang tidak
boleh diambil manfaatnya menurut Syara`, seperti menjual babi, kala, cecak, dan
yang lainnya.
c.
Barang
itu ada, atau tidak ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupan untuk
mengadakan barang itu. Misalnya, barang tersebut ada di toko atau di pabrik dan
yang lainnya disimpan di gudang. Namun yang penting, pada saat diperlukan
barang itu sudah ada dan dapat dihadirkan pada tempat yang telah disepakati
bersama.
d.
Tidak
dibatasi waktunya, seperti perkataan “ku jual kepada tuan motor ini selama satu
tahun,” maka penjual tersebut tidak sah sebab jual beli adalah salah satu sebab
pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan Syara`.
e.
Dapat
diserahkan secara cepat maupun lambat, tidaklah sah menjual binatang yang sudah
lari dan tidak dapat di tangkap lagi, barang-barang yang sudah hilang atau
barang yang sulit untuk diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan
jatuh ke kolam, maka tidak diketahui dengan pasrti ikan tersebut sebab dalam
kolam tersebut terdapat ikan-ikan yng sama.
f.
Milik
sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak seizin pemiliknya
atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
g.
Diketahui
(dilihat), barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyaknya,
beratnya, takarannya, jenisnya, atau ukuran-ukura lainnya. Maka tidaklah sah
jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak. Dalam sebuah hadist
disbutkan.
عن أبي هريره رضي الله عنه قال نهى رسل الله صلى الله عليه وسلم عن
بيع الحُصَاةِ وعن بيع الغَرَرِ (رواه مسلم)
Dan
abi Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah Saw. telah melarang jual beli dengan
cara melempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan. (HR. Muslim)
3.
Syarat
sah ijab kabul
a.
Tidak
ada yang membatasi (memisahkan). Si pembeli tidak boleh diam saja setelah si
penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
b.
Tidak
diselingi kata-kata lain.
c.
Tidak
ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain. Misalnya, jika bapakku mati, maka
akan aku jual padamu.
d.
Tidak
dibatasi waktu. Misalnya, “barang ini aku jual padamu satu bulan saja.”
e.
Ada
kesepakatan ijab dan kabul pada orang yang saling merelakan berupa barang yang
dijual dan harga barang.
f.
Ungkapan
harus menunjukkan masa lalu (madhi) seperti perkataan penjual: “aku telah
beli,” dan perkataan pembeli : “ aku telah menerima,” atau masa sekarang
(mudhori`) jika yang diinginkan pada waktu itu.
Menurut Ulama Syafi`iyah ijab dan kabul ialah:
لاينعقِد البيع إلَّا بالصفة الكلامية
Tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab dan kabul)
yang diucapkan.
Imam Malik berpendapat :
إنَّ البيعَ قَدْوقعَ وقدلزم بالاستفهام
Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami
saja.
Pendapat ketiga ialah menyampaikan akad dngan perbuatan atau
disebut juga dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu`athah yaitu:
المعاطة وهى الأخذ والإعطاء بدون كلام كأن يشتري شيئا ثمنه معلومُ له
فالأخْذَ من البائع ويعطيه الثمن وهو يملك بالقبض
Aqad bil mu`athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa
perkataan ijab dan kabul, sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah
diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan
uangnya sebagai pembayaran.
D.
Saksi Dalam Jual Beli
Saksi dalam jual beli adalah pihak ke tiga atau lebih, dari sebuah
kejadian atau transaksi, yang sengaja atau tidak sengaja secara langsung (tanpa
perantara) menyaksikan atau mengetahui kejadian atau transaksi tersebut. Segala
macam berakad ada baiknya kita menghadirkan saksi, supaya tidak ada keraguan
untuk kita dalam melaksanakan segala akad.
Allah memerintahkan perlunya saksi dalam jual beli, sebagaimana
dalam firman Allah yang dituangkan dalam Al-Qur`an yaitu:
وَأَشْهِدُوا
إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli
Perintah disini
menurut Sayyid Sabiq menunjukkan sunnah (demi kemaslahatan) bukan wajib,
sebagaimana juga pendapat Imam Mazhab umumnya, kecuali `Ata dan al-Nakh`i, maka
tidak dianjurkan mempersilahkannya. Ini adalah pendapat Imam Syari`i,
Hanafiyah, Ishak, dan Ayub. Adapun menurut
Ibnu Qudamah, bahwa mendatangkan
saksi dalam jual beli adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat
ini diriwayatkan dari Ibnu Abas dan diikuti oleh Atha dan Jabir.
Mengingat perintah
ini juga anjuran dari Allah SWT bagi siapa saja yang melaksanakan jual beli.
demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat
menghindarkan terjadinya perselisihan dan menjauhkan dari sikap menyangkal atau
buruk sangka.
F.
Khiyar dalam Jual Beli
Khiyar
adalah mencari kebaikan dari dua perkara melangsungkan atau membatalkan.
Sedangkan khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkan
memilih apakah jual beli itu diteruskan ataukah dibatalkan, karena terjadinya
sesuatu hal.
Bersumber dari Ibnu Umar, ia
berkata: Rasulullah bersabda: masing-masing penjual dan pembeli, tidak akan
terjadi jual beli di antara mereka sampai mereka berpisa, kecuali dengan jual
beli khiyar.
Macam-macam khiyar dalam jual beli
adalah sebagai berikut:
1.
Khiyar
Majlis, yaitu apabila akad dalam jual beli telah terlaksana dari pihak penjual
dan pembeli, maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama
keduanya masih berada dalam tempat akad (majlis).
2.
Khiyar
Syarat, adalah penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual
maupun pembeli.
3.
Khiyar
`Aibi (cacat), yaitu yang dimaksudkan adalah apabila barang yang telah dibeli
ternyata ada keruskan atau cacat sehingga pembeli berhak mengembalkan barang
tersebut kepada penjual.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jual beli adalah
tukar-menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk
yang diperbolehkan oleh syara` atau menukarkan barang dengan barang atau barang
dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang
lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Barang tersebut dipertukarkan dengan
alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan ganti yang dapat
dibenarkan disini berarti milik atau harta tersebut dipertukarkan dengan alat pembayaran
yang sah, dan diakui keberadaannya, misalnya uang rupiah dan mata uang lainnya.
Adapun rukun
jual beli adalah:
1.
Ijab dan
kabul
2.
Aqid (penjual
dan pembeli)
3.
Ma`qud
`alaihi (Objek Akad Jual Beli
Dan di dalam jual beli juga terdapat syarat-syaratnya yaitu:
1.
Syarat
(عاقد) bagi orang yang melakukan akad antara
lain:
a.
Balig
(berakal)
b.
Beragama
Islam
c.
Tidak
dipaksa
2.
Syarat
(معقود عليه) barang yang diperjualbelikan, antara lain:
a.
Suci
atau mungkin disucikan
b.
Memberi
manfaat untuk Syara`
c.
Barang
itu ada
d.
Tidak
dibatasi waktu
e.
Dapat
diserahkan secara cepat maupun lambat
f.
Milik
sendiri
g.
Diketahui
atau terlihat
3.
Syarat
sah ijab kabul adalah sebagai berikut
a.
Tidak
ada yang membatasi (memisahkan)
b.
Tidak
diselingi kata-kata lain
c.
Tidak
ditaklikkan (digantungkan) dengan hal lain
d.
Tidak
dibatasi oleh waktu
e.
Ada
kesepakatan ijab dan kabul
f.
Ungkapan
harus menunjukkan madhi dan mudhari.
Saksi
dalam jual beli adalah pihak ke tiga atau lebih, dari sebuah kejadian atau
transaksi, yang sengaja atau tidak sengaja secara langsung (tanpa perantara)
menyaksikan atau mengetahui kejadian atau transaksi tersebut. Segala macam
berakad ada baiknya kita menghadirkan saksi, supaya tidak ada keraguan untuk
kita dalam melaksanakan segala akad.
Khiyar
adalah mencari kebaikan dari dua perkara melangsungkan atau membatalkan.
Sedangkan khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkan
memilih apakah jual beli itu diteruskan ataukah dibatalkan, karena terjadinya
sesuatu hal. Macam-macam khiyar dalam jual beli adalah sebagai berikut:
1.
Khiyar
Majlis
2.
Khiyar
Syarat
3.
Khiyar
`Aibi (cacat)
B.
Saran
Kami
menyarankan bagi pembaca agar dapat mengamalkan atau mengimplementasikan dari
apa-apa yang dudah dijelaskan dan dipaparkan dalam makalah. Karena manusia
adalah mahluk sosial yang akan melakukan transaksi jual beli dan alangkah
baiknya jika melakukan transaksi jual beli tersebut jika dengan pendoman hukum
Syara`.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an
Al-Karim.
Az-Zuhaili, wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz V.
Beirut: Dar al-Fikr.
Hasbi, ash-Shiddieqy. 1974. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta
:Bulan Bintang.
Ihsan, Ghufron, dkk. 2008. Fiqh Muamalat. Jakarta: Prdana
Media Grup.
Imam Abi Zakariya al-Anshari. T.T. Fathu al-Wahab. Surabaya: al-Hidayah.
Imam Ahmad bin Husain. Fathu al-Qorib al-Mujib. Surabaya:
al-Hidayah.
Imam Taqiyuddin. Kifayah al-AkhyarI, Juz I, Semarang:Toha
Putra.
Lubis, Suhrawardi K. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Lubis, Suhrawardi. 2004. Hukum Ekonomi Islam, cet. III.
Jakarta: Sinar Grafika.
Suhedi, Hendi. 2014. Fikih Muamalah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Surya, Hariman Siregar, dan Koko Khoerudin. 2019. Fikih Muamalah
Teori dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hasan, M Ali. 2000. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta:
Rajawali Pena.
Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih
Muamalat), cet I. Jakarta: PT Taja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar