MAKALAH
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen : Ishak Syairozi, M.PdI.
OLEH :
Nurhasanah (31.19.095)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
Tahun2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala puji kami haturkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan hikmah, hidayah, pengetahuan, kesehatan serta
umur yang panjang sehingga makalah ini yang berjudul “SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
USHUL FIQH” dapat kami selesaikan. Kami sangat berterimakasih kepada Bapak
Dosen Ishaq Syairozi, M.PdI. yang telah memberikan tugas makalah ini untuk
pembelajaran mata kuliah Ushul Fiqh.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah dan
perkembangan ushul fiqh. Ushul fiqh sendiri adalah alat atau sarana yang dapat
digunakan untuk memahami nash-nash Al-Qur`an dan as-Sunnah dalam rangka
menghasilkan hukum-hukum syara`. Dengan kata lain, ushul fiqh adalah
menyangkut metodoligi atau teori yang bukan saja digunakan untuk memahami
hukum-hukum syara`, melainkan juga berfungsi untuk menetapkan dan
menghasilkan hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah. Maka ushul fiqh
itu sangatlah penting dikehidupan sehari-hari, oleh karena itu kita wajib
mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw,
Sahabat, Tabi`in dan Imam Madzhab, karena dengan kita mengetahui sejarah
tersebut kita akan dapat membedakan bagaimana ushul fiqh dari masa ke masa dan
kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari. Dan
bukan hanya itu kita juga harus mengetahui bagaimana pengaruh Manthiq Aristo
dalam ushul fiqh, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh islam dan yang
paling terpenting adalah mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh dan masih
banyak lagi materi yang kita harus ketahui dalam mempelajari ushul fiqh, dengan
mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh kita dapat meningkatkan sikap
toleransi karena apa? kita mengetahui bahwa hukum-hukum islam itu
bermacam-macam dan kita dapat menyikapi perbedaan itu secara bijaksana dengan
kita mengetahui ilmu atau materi yang akan dibahas dalam mata kuliah ushul fiqh
ini.
Kami sadar sepenuhnya, jika dalam pembuatan makalah ini jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun menuju kesempurnaan dari pembaca untuk kesempurnaan makalah kami yang
akan datang.
Jakarta, 12 Maret 2020
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG.................................................................................. 1
B.
RUMUSAN
MASALAH.............................................................................. 1
C.
TUJUAN
PENULISAN................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan Perkembangan Ushul Fiqh......................................................... 2
B.
Pengaruh
Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqh......................... 7
C.
Peranan
Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh Islam.................................. 11
D.
Aliran-aliran
dalam Ushul Fiqh...................................................................... 13
BAB
III PENUTUP
A.
KESIMPULAN............................................................................................. 16
B.
SARAN......................................................................................................... 16
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ushul fiqh sendiri adalah alat atau sarana yang dapat digunakan
untuk memahami nash-nash Al-Qur`an dan as-Sunnah dalam rangka
menghasilkan hukum-hukum syara`. Dengan kata lain, ushul fiqh adalah
menyangkut metodoligi atau teori yang bukan saja digunakan untuk memahami
hukum-hukum syara`, melainkan juga berfungsi untuk menetapkan dan
menghasilkan hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah. Maka ushul fiqh
itu sangatlah penting dikehidupan sehari-hari, oleh karena itu kita wajib
mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw,
Sahabat, Tabi`in dan Imam Madzhab, karena dengan kita mengetahui sejarah
tersebut kita akan dapat membedakan bagaimana ushul fiqh dari masa ke masa dan
kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari.
Dalam makalah ini akan
dibahas bagaimana pengaruh Manthiq Aristo dalam ushul fiqh, peranan ushul fiqh
dalam pengembangan fiqh islam dan yang paling terpenting adalah mengetahui
aliran-aliran dalam ushul fiqh dan masih banyak lagi materi yang kita harus
ketahui dalam mempelajari ushul fiqh, dengan mengetahui aliran-aliran dalam
ushul fiqh kita dapat meningkatkan sikap toleransi karena apa? kita mengetahui
bahwa hukum-hukum islam itu bermacam-macam dan kita dapat menyikapi perbedaan
itu secara bijaksana dengan kita mengetahui ilmu atau materi yang akan dibahas
dalam mata kuliah ushul fiqh ini. Dengan adanya makalah ini kita sebagai
mahasiswa dapat terjun pada masyarakat dan memberikan pengertian bahwa
sebenarnya semua hukum itu tidaklah satu namun banyak karena kita terdapat
aliran yang berbeda-beda dan aliran tersebut sudah di ijtihadkan oleh para
sahabat, tabi`in dan imam madzhab. Maka timbullah rasa toleransi dan saling
menghargai di setiap perbedaan dan tidak ada lagi perpecahan diantara umat
Rasulullah Saw.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi`in,
dan Imam Madzhab?
2.
Bagaimana
pengaruh Manthiq Aristo dalam perkembangan ushul fiqh?
3.
Bagaimana
peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqih islam?
4.
Apa
saja aliran-aliran dalam ushul fiqh?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat,
Tabi`in, dan Imam Madzhab,
2.
Untuk
mengetahui pengaruh Manthiq Aristo dslsm prerkembngan ushul fiqh,
3.
Untuk
mengetahui peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqih islam, dan
4.
Untuk
mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
1.
Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a.
Masa Rasulullah SAW
Periode Mekkah ini istilah fiqh
sebelum dikenal, tetapi banyak menekankan pada keyakinan akidah Islam yang
berbentuk kepercayaan kepada keesaan Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul,
kitab-kitab-Nya, hari kiamat, serta qada dan qadar sehingga
nyaris tidak berbicara mengenai aturan-aturan hukum beribadah. Hal ini
dikarenakan pembentukan keimanan merupakan modal yang sangat kuat dan penting
dalam upaya penerimaan segala tindak laku ibadah yang akan ditawarkan saat itu
untuk periode selanjutnya.
Pada masa ini Nabi Muhammad SAW
menginformasikan dirinya sebagai utusan Allah (Rasulullah), sedangkan
aturan-aturan akhlak belum dijadikan institusi keagamaan. Adapun akhlaknya yang
baik, jujur sering bersemedi (tahannus) dan pekerja keras hanyalah
merupakan temperamen dirinya secara pribadi dan belum menjadi kewajiban umat
untuk mengikutinya. Saat ini belum ada perangkat aturan yang baku dalam
menentukan bentuk, waktu, serta luasna kegiatan yng dianggap ibadah tersebut.
Demikian juga batas-batas komunitas para penganut belum ditegaskan secara
jelas. Aturan hukum ini baru dimulai ketika perintah untuk pertama sekali
melakukan hijrah ke Madinah sebagai upaya tindakan penyelamatan diri dari
penyiksaan kaum kafir Quraisy.
b.
Masa Sahabat
Wafatnya Rasulullah SAW menggores catatan baru dalam penetapan
hukum. Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan permasalahan
baru yang tidak ada pada zaman Nabi terkait dengan metode penetapan hukum.
Untuk menetapkan hukum baru maka diantara sahabat berijtihad dengan bersumber
pada Al-Qur`an dan Hadis. Maka pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi
hanya Al-Qur`an dan Hadis tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.
Menurut Abu Zahra munculnya ilmu ushul fiqh bersamaan dengan ilmu
fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dahulu dibukukan sebelumnya. karena menurutnya
fiqh sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa adanya metodologi istinbat.
Dan metode istinbat ini sendiri adalah inti dari bagian ushul fiqh.
Di antara sahabat yang telah melakukan istinbath hukum adalah Ibnu
Mas`ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab, mereka tidak mungkin
mengeluarkan hukum (istinbath) tanpa mengetahui dasar-dasar dan
batasan-batasan ushul fiqh, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan
demikian.
Sewaktu Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80
kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia meminumia akan mabuk dan
jika ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar, maka
kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina (qadzaf)”. Dari
pernyataan Ali itu, akan diketahui, bahwa Aliternyata menggunakan kaidah
menutup pntu kejahatan yang timbul atau “sad az-zari`ah”.
Abdullah bin Mas`ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita
hamil yang kematian suami iddahnya adalah melahirkan anak, ia mengemukakan argumennya
berdasarkan firman Allah dalam surat At-Thalaq (65): 4:
وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن
نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى
لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang
-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya.
Meskipun
juga ada firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 234 yang menjelaskan
bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari.
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ
بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Dalam menetapkan pendapat ini beliau
mengatakan bahwa ayat 4 urah At-Thalaq datang sesudah ayat 234 surah Al-Baqarah
(2)
Dari tindakan Ibnu Mas`ud tersebut
kelihatan bahwa dalam menetapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul fiqh
naskh mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menghapus dalil yang
datang terdahulu. Dengan demikian, jelaslah bahwa cara-cara penetapan hukum
tersebut menunjukkan adanya metode ushul fiqh. Artinya kita harus meyakini
bahwa ijtihad para sahabat semuanya berdasarkan metodologi, meskipun mereka
tidak selalu menjelaskan hal tersebut.
Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat. Dalam
melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah ushul
fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum dibukukan sebagai sebuah
disiplin ilmu. Kemahiran mereka dalam ijtihad di samping dari pengaruh
bimbingan Rasul juga penguasan mereka terhadap bahasa Arab yang sangat baik.
Mereka yang kemudian dikenal banyak melakukan ijtihad adalah yang mengikuti langsung
praktik tasyri` dari Rasulullah SAW. mereka adalah orang yang dekat
dengan Rasul, selalu menyertainya dan menyaksikan langsung praktik ijtihad
Rasul, sehingga mereka sangat memahami bagaimana cara memahami ayat dan
menangkap tujuan pembentukan hukumnya.
Imam Khudari Bek memberikan komentar yang positif terhadap praktik
ijtihad para sahabat “setelah Rasul wafat mereka sudah siap menghadapi
perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad
meskipun kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang
dilakukan oleh sahabat dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abd Wahhab Abu
Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Makkah seperti dikutip
oleh Satria Efendi, langkah pertama yang mereka tempuh adalah mempelajari teks
Al-Qur`an dan kemudian sunnah Nabi. Jika tidak ditemukan pada kedua sumber buku
ini maka mereka melakukan ijtihad, baik secara perorangan atau mengumpulkan
sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka disebut dengan ijma`
sahabat. Selain menggunakan qiyas,mereka juga menggunakan istislah yang
didasari oleh maslahah mursalah seperti megumpulkan Al-Qur`an dalam satu
mushaf.
Dapat disimpulkan bahwa para sahabat telah menggunakan ijma`,
qiyas dan istislah (maslahah mursalah) jika hukum sesuatu tidak
ditemukan dalam Al-Qur`an dan sunnah. Dengan demikian prakarsa ijtihad yang
dilakukan oleh sahabat setelah wafat Rasulullah telah mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat ketika itu. Menurut Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian
mewariskan metodologi yang dijadikan dasar dalam merumuskan ushul fiqh.
c.
Masa Tabi`in
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya,
yaitu masa tabi`in, tabi` al-tabi`in serta imam-imam mujtahid sekitar
abad kedua dan ketiga hijriah. Pada masa ini Daulah Islamiyyah sudah
semakin berkembang dan bak muncul kejadian baru. Berbagai kesulitan,
perselisihan dan pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu per
satu bermunculan. Semua persoalan ini menambah beban kepada imam mujtahid untuk
membuka cakrawala yang lebih luas terhadap lapangan ijtihad yang membawa
konsekuensi semakin meluasnya lapangan hukum syariat islam (hukum fiqh) dan
hukum beberapa peristiwa yang masih bersifat kemungkinan (prediksi). Sumber
yang mereka gunakan pada periode ini adalah sumber hukum pada dua periode
sebelumnya (periode Nabi dan Sahabat). Jadi sumber ushul fiqh pada masa periode
ini terdiri dari hukum Allah (Al-Qur`an), Rasul-Nya (Hadis), fatwa dan
keputusan sahabat Rasul serta fatwa mujtahidin.
Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyimpulkan bahwa ada
masa tabiin ini, metode istinbat sudah mengalami perluasan yang pesat
dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah luasnya wilayah
kekuasaan islam. Fenomena ini membawa konsekuensi kepada munculnya permasalahan
baru yang memerlukan pemecahan hukumnya. Diantara tabiin yang memiliki
kemampuan tinggi untuk berfatwa adalah Said bin al-Musayyab (15 H-94 H) di
Madinah, Al-Qamaah ibn Qays (w. 62 H), Ibrahim al-Nakha`i (w. 96 H). Prestasi
tiga tabiin ini tidak lepas dari sentuhan pendidikan yang diberikan oleh para
sahabat. Sumber istinbat hukum pada masa tabiin meruju` kepada Al-Qur`an,
sunnah Rasullullah, fatwa sahabat, ijma`, qiyas, dan maslahah mursalah jika
tidak didapati hukumnya dalam nas.
d.
Mujtahid Sebelum Imam Syafi`i
Pada
masa imam mujtahid sebelum Imama Syafi`i dikenal dua tokoh besar, yaitu Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Kedua tokoh mujtahid ini telah
memperlihatkan penggunaan metode yang lebih jelas.
Imam
Abu Hanifah al-Nu`man (w. 150 H), pendiri mazhab Hanafi menggunakan dasar
istinbatnya secara berurutan yaitu al-Qur`an, sunnah dan fatwa sahabat dan jika
tidak terdapat pada tiga sumber hukum di atas maka ia berpegang kepada pendapat
yang disepakati oleh para sahabat. Imam Abu Hanifah jika dihadapkan oleh
beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih salah satu pendapat dan tidak
akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah tidak berpegang pada pendabat
tabiin karena sejajar dengan mereka. Dalam melakukan jtihad, Imam Abu Hanifah
dikenal sebagai mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan.
Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.
Imam
Malik bin Anas dalam ijtihadnya juga memiliki metode yang cukup jelas, seperti
terlihat pada sikapnya dalam mempertahankan praktik ahli Madinah sebagai sumber
hukum. Satu hal penting yang perku dicatat bahwa sampai pada masa Imam Malik sendiri
tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.
2.
Pembukuan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh tumbuh pada abad kedua hijrah. Pada abad pertama
hijriah ilmu ini belum tumbuh, karena belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW
berfatwa dengan menjatuhkan keputusan (hukum) berdasarkan Al-Qur`an dan Hadis,
dan berdasar naluriah yang bersih tanpa memerlukan ushul atau kaidah yang
dijadikan sebagai sumber istinbat hukum. Adapun sahabat Nabi membuat
keputusan hukum berdasarkan dalil nas yang dapat mereka pahami dari aspek
kebahsaan smampu mereka, dan untuk memahaminya secara baik diperlukan kaidah
bahasa.di samping itu, mereka juga melakukan istinbat hukum sesuatu yang
tidak terdapat dalam nas berdasarkan kemampuan mereka, berdasarkan ilmu tentang
hukum islam yang telah mereka kuasai disebabkan banyaknya pergaulan mereka
bersama Nabi serta menyaksikan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat
al-Qur`an) dan asbabun wurud (sebab-sebab turunnya hadis). Jadi, para
sahabat ketika itu sudah benar-benr memahami tujuan-tujuan hukum syariat serta
dasar-dasar pembentukannya.
Setelah kekuasaan Islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab
sudah memperluas pergaulannya dengan bangsa lain baik bentuk lisan ataupun
tulisan. Sehingga terjadilah penyerapan bahasa asing dalam bentuk mufradat dan
tata bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan kesamaran-kesamaran dan
kemungkinan lain dalam rangka memahami nas. Dari latar belakang itulah, maka
perlu disusun batasan-batasan dan kaidah bahasa, yang dengan kaidah itu nas
dapat dipahami sebagaimana orang Arab memahaminya.
Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum Islam sudah
semakin meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjailah
perdebatan sengit antara ahlul hadis dan ahlul al-ra`yi. Dipihak
lain semakin berani juga orang-orang yang tidak ahli agama (ahlul ahwa), menjadikan
sesuatu sebagai hujah padahal sesuatu itu bukan hujah dan sebalknya mereka
mengingkari sesuatu yang justru hal itu adalah hujah. Semua ini merupakan
dorongan yang kuat untuk menyusun batasan-batasan tentang dalil syariat,
syarat-syarat serta cara menggunakan dalil. Semua pembahasan yang berhubungan
dengan dalil-dalil serta batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang
kemudian menjelma menjadi ilmu ushul fiqh.
Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijriah muncul ulama
bernama Muhammad bin Idris al-Syafi`i
(150 H-204 H) yan menggagas, meramu, mensistematiskan dan membukukan ilmu ushul
fiqh.
Sebelum Imam Syafi`i, tercatat orang yang pertama kali menghimpun
kaidah yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah Imam Abu Yusuf seorang
pengikut Imam Abu Hanifah.tetapi kumpulan ini tidak sampai pada kita. Adapun
orang yang pertama kali melakukan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan
dalam ilmu ushul fiqh secara sistematis dan masing-masing kaidah itu dikuatkan
dengan dalil dan uraian yang mendalam dialah Imam Muhammad bun Idris al-Syafi`i
yang meninggal pada tahun 204 H. Kemudian hasil pentadwinan (kodifikasi) itu
diberinama kitab al-Risalah , yang merupakan kitab pertama dalam ilmu ushul
fiqh dan wujud kitabnya sampai dihadapan kita sekarang. Dengan demikian,
populerlah dikalangan ilmu ushul bahwa orang yang pertama kali menyusul ilmu ushul
fiqh adalah Imam Syafi`i.
Dijelaskan oleh Satria Effendi bahwa kitab al-Risalah yang
berarti sepucuk surat pada mulanya adalah lembaran-lembaran surat yang
dikirimkan oleh Imam Syafi`i kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), eorang
ulama ahli hadis ketika itu. Munculna kitab al-Risalah adalah fase awal
perkembangan ushul fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu. Secara umum kitab ini
membahas tentang landasan-landasan pembentukan fiqh, yaitu al-Qur`an, sunnah, ijma`,
fatwa sahabat, dan qiyas.
Masa pembukuan ushul fiqh yang dilakukan oleh Imam Syafi`i,seperti
dijelaskan di atas bersamaan dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan
keislaman yang disebut sebagai masa keemasan Islam yang dimulai dari masa Harun
al-Rasyid (145 H-193 H) khalifak kelima dinasti Abbasiyah dan kemudian
dilanjutkan lagi oleh putranya bernama
al-Ma`mum (170H-218 H). Salah satu indikator kemajuan ilmu di kota Baghdad
sehingga Baghdad pada saat itu menjadi mencusuar ilmu yang didatangi oleh orang
dari berbagai wilayah Islam.
Setelah Imam Syafi`i menyusun kitabnya yang monumental itu,
kemudian berbondong-bondonglah ulama menyusun ilmu ushul fiqh baik dalam bentuk
panjang lebar (ishab) ataupun ringkas (`ijaz). Tak ketinggalan
ulama ilmu kalam (ahli teologi), menyusun ilmu ini dengan caranya sendiri
begitu juga ulama Hanafiyah juga menyusun imu ushul fiqh dengan menggunakan
caranya sendiri.
Karya Ilmiah di bidang ilmu ushul fiqh setelah Imam Syafi`i yang
tercatat pada abad ke-3 hijriah antara lain: al-Khabar al-Wahid, karya
Isa Ibn Abban Ibn Sedekah (w.220 H) dari kalangan Hanafiyah, al-Nasikh wa
al-Mansukh oleh Ahmad bin Hambal (w. 164 H-241 H), pendiri mazhab Hambali
dan kitab Ibtal al-Qiyas oleh Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri
mazhab Zahiri.
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Khulasat Tarikh
al-Tasri al-Islami,pada pertengahan abad ke-4 H., terjadi kemunduran dalam
kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dalam pengertian tidak ada lagi orang yang
mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru. Namun pada saat yang sama
kegiatan ijtihad di bidang ushul fiqh berkembang pesat. Ushul fiqh tetap
berperan sebagai alat pengukur kebenaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk
sebelumnya.
Berdasarkan penelitian Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpulkan
bahwa ilmu ushul fiqh tidaklah langsung menjadi ilmu yang besar. Akan
tetapi, sedikit demi sedikit terus berkembang menjadi besar. Tercatat dalam
sejarah, setelah mencapai perjalanan 200 tahun barulah ilmu ushul fiqh
tumbuh dengan subur, tersebar dan terpencar disela-sela hukum fiqh.
B.
Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqh
Kehidupan manusia pada dasarnya merupakan proses berkelanjutan.
Kebudayaan yang ada ditengah-tengahmasyarakat tidak dapat dipisahkan dari
pengaru budaya masa lampau, demikian juga perkembangan ilmu pengetahuan. Pada
dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses reformulasi dan rekonstruksi
terhadap tatanan pengetahuan dimasa lampau. Ushul fiqh sebagai ilmu yang
berkembang dikalangan ulama muslim pada dasarnya juga tidak bisa delepaskan
dari pengaruh peradaban yang ada pada masa sebelumnya. Sebagai salah satu
faktor ekstern, di samping faktor intern yang ada didunia dilihat islam
sendiri.
Salah satu faktor intern yang “mengubah” kuat memberikan
konstribusi yang cukup besar terhadap perkembangan ushul fiqh adalah filsafat
Aristoteles yang lebih besar masuk ke dalam dunia pemikiran islam melalui
proyek penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Contoh pengaruh dan
konstitusi filsafat Aristoteles dalam penyusunan dan pengembangan ushul fiqh di
dunia islam.
1.
Konsep Qiyas
Imam Syafi`i mewakili orang yang dinggap sebagai peletak dasar
ushul fiqh. Hal ini karena Imam Syafi`i-lah yang pertama kali menjelaskan
konsep ushul fiqh secara lengkap dalam kitab al-Risalah.
Dalam kitabnya, al-Risalah, memang al-Syafi`i tidak secara
eksplisit mengutip atau membahas filsafat dan logika Aristoteles, akan tetapi
metode yang digunakan dalam penyusunan al-Risalah yang menunjukkan keterwakilan
komunikasi Aristoteles. Menurut Mustafa Basya, tidak-tidak logis yang tampak
pada kitab al-Risalah adalah penggunaanistilah-term yang domian untuk klasifikas.
Penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan kebijakan ini memperbaiki
kebiasaan ahli logika pada masa itu. Lebih jauh, al-Syafi`i juga menggunakan
metode diskusi dalam menjelaskan suatu masalah, sehinggaseakan-akan ada dua
orang yang berdebatdalam masalah hukum tersebut. Metode diskusi dalam
al-Risalah ini banyak sekali disetujui oleh bentu-bentuk logika seperti ada
perbedaa, genus dan spesies.
Teori qiyas yang digagas oleh al-Syafi`i juga “mengubah” mendapat
pengaruh dari konsep Aristoteles. Konsep qiyas yang dimunculkan oleh al-Syafi`i
ini merupakan teori yang baru yaitu tata cara menggambil hukum berdasarkan
beberapa persyaratan ketat yang disandarkan pada nash. Pembakuan qiyas ini
menjadikan sifat qiyas berbeda dari sebelumnya, yang dipahami sebagai lasan
hukum yang fleksibel dan dinamis. Dalam pembakuan teori qiyas ini al-Syafi`i
memang tidak pernah membahas persyaratan khususuntuk qiyas, namun berdasarkan
contoh-contoh yang diberikan, harus memenuhi persyaratan empat bagi yang
dikemukakan oleh ulama munculnya seperti ashl, far’. Hukum al-Ashl dan
‘Illat qiyas yang dicontohkan oleh Imam al-Syafi`i ternyata memiliki substansi
yang sama dengan premis-premis dalam silogisme logika Aristotele, pertama,
menggunakan premis mayor, premis minor, dan mengambil konklusi. Kedua,
mesing-masing fungsi premis dalam qiyas dan logis itu sma, yaitu mencari
kesimpulan yang logis dan benar.
Pengaruh filsafat Aristoteles dalam qiyas al-Syafi`i juga bisa
dilacak dari genealogi keilmuan yang didukung oleh al-Syafi`i. Berdasarkan
guru-guru yang lebih keilmuannya, maka konsep qiyas al-Syafi`i terlacak
bersumber dari metode tasybih dalam ilmu balaghah. Metode pertama kali
dikenalkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Faramdi (w. 170 H) yang dilanjutkan oleh
muridnya Sibawayhi (w. 180 H). Mereka berdua adalah diantara para guru
al-Syafi`i yang ditawarkan dalam bidang gramatikal bahasa. Sementara, menurut
al-Jabiri, al-Khalil bin Ahmad dan Sibawayhi banyak mengilhami ilmu-ilmu Yunani
termasuk logika Aristoteles dalam menyusun gramatika bahasa Arab secara umum.
Pasca al-Syafi`i, Aristoteles, semakin pintar pengaruhnya terhadap
perkembangan ushul fiqh. Terutama setelah al-Ghazali secara terang-terangan
menfatwakan logika Arisstoteles sebagai salah satu syarat ijtihad. Berkaitan
dengan peran dalam agama, Imam al-Ghazali menyatakan: “logika adalah dasar ilmu
pengetahuan, lebih dari biasanya pendahuluan atau cabag ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, siap yang tidak mengerti logika, maka ilmunya tidak dipercaya”.
Berdasarkan fenomena diatas dapat diajukan bahwa konsep qiyas ushul
fiqh semenjak masa al-Syafi`i sudah mengandung tidak-tidak, logika Aristoteles
dan semakin banyak teradopsi pada masa setelah Imam al-Ghazali. Namun, masuknya
silogisme logika Aristotelis kedalam qiyas semenjak al-Syafi`i, ternyata mmbuat
qiyas kurang berkembangdan kurang dinamis, liberal dan akomodatif dalam
menyikapi perkembanga hukum di masyarakat. Salah satu alasannya adalah adanya
pengadopsianyang persial terhadap filsafat Aristotelis, yaitu metode
deduktif-silogitik an sich dan menggunakan metode induktif-empirik sehingga
terjadi pengaduan yan sudah ada tanpa melibatkan peran untuk melakukan inovasi
dalam rangka menemukan ide-ide baru yang orisinil.
2.
Konsep Maqasid al-Syari`ah
Ibnu Rusyd, salah seorang fuqaha pengagum Aristoteles pernah
menyatakan agama dan filsafat tidak akan pernah membantah.
“Filsafat merupakan sahabat karib syari`ah dan teman sesusuannya”
Singkatnya, filsafat tidak bertenangan dengan agam. Jika di
permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka hal itu lebih karena faktor
kekeliruan atau kekurang-pahaman dalam menunjangnya karena target atau sasaran
yang terkait dengan umat manusia, baik dari kalangan awam maupun tokoh-tokoh
terpelajarnya. Maka sarana yang dipakai sesuai dengan ukuran pemahaman kaum
awam yaitu metode retorika (kitabiyah), metode dialektika (jadaliyah)
dan metode persuasif (iqna`iyah). Meskipun demikian, agama melepaskan
menafikan metode rasionalisme (burhani), bahkan menganjurkannya agar menjadi
sarana yang efektif untuk kalangan ulama atau kaum rasionalis (ashab
al-burhan) untuk mengevaluasi agama misalnya dengan metode ta`wil atau
penafsiran rasional.
Prinsip dasar yang harus dipatuhi oelh bentuk penafsiran rasional
adalah “maqashid al-syar`i” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuar
syari`at). Prinsip dasar dalam disiplin dalam filosofi “kausalitas”. Prinsip “maqashid
al-syar`i” juga tergolong dalam kategori al-sabab al-gha`iy (sebab
akhir, sebab terakhir) yang disebut Aristoteles.
Jadi jika dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas maka dimensi
kausalitas agama dibangun atas prinsip “maqashid al-syar`i”. Proyekyang
diangkat oleh Ibnu Rusyd ini, khusus tentang hubungan antara agama dan filsafat
satu sama lain orisinil dan rasional. Dalam arti mampu memahami dimensi
realitas dalam agama juga dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas
dasar keteraturan dan keajegan alam ini juga pada prinsip prinsipalitas
kausalitas, sedangkan rasionalitas agama dibangun diatas landasan dan tujuan
sang pembuat syari`at yang bermuara pada penggerak untuk manusia untuk
nilai-nilai kebajikan yang kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep “maqasid
al-syar`i”. Disinilah kita melihat konstribusi filsafat Aristoteles
terhadap konsep awal maqasid al-syar`i.
Pandangan sistematik-aksiomatik dan berpegang teguh pada “maqasid”
sebagai landasan membangun rasionalisme ini kemudian dimulai oleh al-Syatibi
dalam upaya mengembangkan proyek pembaharuan dan koordinasi ushul fiqh. Dalam
proyek pengembangan disiplin ushul fiqh ini, al-Syatibi, menerima Ibnu Rusyd,
banyak terinspirasi oleh filsafat Aaristoteles.
Persoalan yang muncul adalah, bagaimana mungkin membangun dimensi
rasionalitas dalam agama atas dasar prinsip ‘al-qathi’ (kepastian) yang
sebanding dengan prinsip ‘al-yaqin’ dalam filsafat, sedangkan dalam
agama hukuman menghadapi masalah ini, al-Syatibi kemudian mengatakan
bahwa semua bisa terjadi pada metode rasionalisme agar disiplin ushul fiqhpun
berdasarkan pada prinsip ‘kulliyyah al-syari`at’ (prinsip-prinsip agam
universal) dan prinsip “maqasid al-syari”. Prinsip “kulliyyah al-syari`ah”
memiliki posisi yang sama dengan “al-kulliyyah al-aqliyyah”
(prinsip-prinsip universal) dalam filsafat, sedangkan “maqasid al-syari”
mirip dengan posisi “al-sabab al-qhat`i” (penyebab terakhir) yang
digunakan sebagai pembentuk non-penalaran rasional.
Metode yang digunakan untuk mencapai “kulliyyah al-syari`ah”
adalah metode induksi (istiqra`iyah) yaitu dengan membandingkan
pelaporan kasus masalah spsifik atau juz`iyyah dalam masalah-masalah
agama, masalah-masalah permintaan transaksi dan kesulitan dari sana. Kemudian ditarik
beberapa prinsip universalitas yang
sifatnya universalitas kuantitatif, namun tetap mengandung makna pasti (qath`i),
karena ditarik dari sesuatu yang qath`i pula.
Universalitas syari`at ini tetap mengandung arti pasti dan pasti (al-qath`i)
karena metode induksi yang dibangun diatas dasar yang ditambahkan dengan
prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam tradisi ilmu-ilmu rasional.
Menurut al-Syatibi, lebih dari tiga prinsip dasar yang membuat
universalitas syari`at mengandung arti pasti dan pasti, yaitu:
1)
Prinsip
keumuman dan keterjangkaun.
Hukum-hukum
agama umum, luas dan semua objektif taklif, dan tidak berlaku khusus untuk satu
waktu dan tempat tertentu saja.
2)
Prinsip
kepastia dan ketidak berubahan
Hukum-hukum
adama demikian juga, yang wajib tetap, yang haram tetap haram. Apa yang menjadi
sebab, akan tetap menjadi sebab, demikian juga syari`at akan tetap menjadi
syari`at.
3)
Prinsip
legalitas
Yaitu
yang menentukan disiplin keilmuan ini menjadi penentu bukan sebaliknya didikte
atau ditentukan oleh selainnya. Sisiplin syari`at terdiri atas
perintah-perintah dan larangan-larangan yang tidak mungkin ada yang
mengatasinya, jadi, sesuai syarat, harus diselesaikan dalam disiplin ilmu.
Ini adalah konsep universalitas
syari`at atau premis-premis rasional dalam disiplin ushul fiqh. Selanjutnya
tentang “maqasid al-syari`ah”, al-Syatibi mengatakan bahwa al-syari`ah
terdiri dari empat unsur pokok yaitu:
1)
Syari`at
agama diturunkan dalam rangka kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan manusia
ini terbagi dalam tiga tingkatan:
a.
Dlaruriyah
(kepentingan primer)
Kepentingan primer merupakan kepentingan
yang harus selalu diselesaikan dalam kehidupan manusia yang meliputi lima
kepentingan dasar (al-dlaruriyah al-khams) yaitu menyelamatkan agama (hifdh
al-din), mningkatkan jiwa (hifdh al-nafs), butuh akal (hifdh al-aql),
hijrah al-nasl, hijrah al-hijrah.
b.
Hajjiyah
(kepentingan sekunder)
Hajjiyah
atau kepentingan sekunder mencangkup umlah tidak terbatas, seperti kebutuhan
sandang, papan, dsb.
c.
Tahsiniyah
(kepentingan tersier/pelengkap)
Kebutuhan rekreasi.
2)
Syari`at
islam di berlakukan untuk diterjemahkan dan dihayati oleh umat manusia, karena
islam diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam lingkungan sosial masyarakat Arab,
maka untuk memahaminya perlu diperbaiki untuk apa yang dikenal oleh bangsa Arab
baik untuk bahasa yang terkait dengan sosial mereka.
3)
Tidak
dari maqasid al-syari`ah adalah taklif yaitu pembebanan hukum-hukum
agama kepada manusia . rumusannya adalah “setiap hukum yang berada di luar
kesanggupan mukallaf, secara penuh tidak akan disetujui, disetujui oleh akal”
karena Allah SWT tidak akan membebani seseorang diluar kemampuan dang
kesanggupannya.
4)
Bukan
merupakan tahap pertama atau terakhir dari maqasid al-syari`ah adalah
“melepaskan mukallaf dari belenggu mendoronh hawa nafsunya sehingga ia akan menjadi
hamba Allah dengan kodrati”.
Demikian keempat, maqasid
al-syari`ah yang digagas al-Syatibi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
tentang pentingnya kehadiran konsep maqasid al-syari`ah dengan konsep
kausalitas Aristoteles yang juga terdiri dari empat orang.
1.
Antara
“sebab efesien (penyebab efesien)” dengan “pelepassan mukallaf dari belenggu
hawa nafsu”.
2.
Antara
“sebab akhir” dengan “kemaslahatan umat manusia”.
3.
Antara
“sebab material” material “dengan kemampuan mukallaf”.
4.
Antara
“sebab formal” dengan “kondisi sosio-histori masyarakat Arab”.
Adanya kemiripan di atas
memperlihatkan satu bukti tentang konstribusi filsafat Aristoteles dalam
mengemban konsep maqasid al-syari`ah dalam disiplin ilmu fiqh.
C.
Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh Islam
Kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqh merupakan
salah satu upaya dalam menjaga keasrian
hukum syara` kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriah. Ushul fiqh itu
terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya pada abad kelima dan
awal abad keenam hijriah. Pada abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan
ushul fiqh karena banyak ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pda
abad inilah muncul kitab-kitab ushul fiqh yang menjadi standar dan rujukan
untuk perkembangan ushul fiqh selanjutnya.
Target yang hendak dicapai oleh ushul fiqh ialah tercapainya
kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara` yang bersifat furu` dan
kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan
jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat
terhindar dari keekliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan
dalam ilmu ushul fiqh berarti, sesorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya
berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.
Target studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath
hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi non
mujtahid yang mempelajari fiqih islam, target ushul fiqh itu ialah agar ia
dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam mengistinbath hukum sehingga
ia dapat mentarjih dan mentakhrij pendapat madzhab tersebut. Hal ini tidak
dapat dilakukan dengan tepat dan benar, kecuali dengan diaplikasikannya
kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istinbath.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa motif dirintitasnya,
dikodifikasikannya, dan ditetapkan kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan
mujtahid kaidah itu untuk keperluan istinbath hukum, terutama setelah masa
sahabat dan tabi`in. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bukan ahli
ijtihad tetap berijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka
para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang kebih ringan mudharatnya, yakni
menutup pintu ijtihad. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya
jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu pula untuk main-main dalam
hukum syara` dapat dihindari.
Tujuan yang hendak dicapai dari ushul fiqh adalah untuk menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara` yang terperinci agar sampai kepada
hukum-hukum syara` yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara` dan
hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik
tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada
rumusan itu.
Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqh sebagaimana
telah ijelaskan diatas, sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar
sepuluh abad yang lalu, dan manusia sejak saat itu sampai sekarang masih
terikat dan berpegang teguh pada hukum-hukum fiqih yang tertulis dalam
kitab-kitab madzhab fiqih, hal ini berarti dari ilmu ushul fiqh tidak tercapai.
Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu
ijtihad itu adalah berdasar dalil syara`. Hanya saja, ulama berpendapat
demikian karena pertimbangan-pertimbangan yang telah ditemukan diatas. Dengan
demikian, bagi seseorang yang memenuhi syarat ijtihad, tidak ada halangan
baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa
isjtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa
dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang
berpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad
kapan saja dapat dilakukan dan bisa kembali lagi sebagaimana dimasa Aminat
Al-Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam berijtihad atau selama ada orang
yang memenuhi syarat berijtihad.
Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan
pada ilmu ushul fiqh selalu ada. Hal ini karena mujtadid madzhab yang tidak
samapai ketingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan
undang-undang ushul fiqh. Dan bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan
iman madzhabnya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa
mengetahui ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula ulama hendak
mentajrih pendapat imam madzhabnya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqh sebab
tanpa mengetahui ilmu tersebut, ia tidak mungkin dapat mentajrih dengan baik
dan benar.
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga
terlihat jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam
mengistinbathkan hukum dari Al-Qur`an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan
urutan dalil dalam mengistinbathkan hukum sebagai berikut:
1.
Al-Qur`an,
2.
Hadits,
3.
Fatwa
yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat,
4.
Fatwa
para tabi`in yang sejalan dengan pemikiran mereka,
5.
Qiyas
dan
6.
Istishan.
Sedangakan Imam Malik, berpegang pada Al-Qur`an, Sunnah, juga
banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalam penduduk Madinah (`amal
ahlul Madinah).
Selanjutnya Imam Syafi`i dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus
buat pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh yang bersamaan dengan
dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Imam
Syafi`i berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahlul
hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahlul ro`yi di Irak. Dalam
kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi`i berusaha memperlihatkan pendapat yang
shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari
pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah dia
membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat menjadikan patokan umum dalam
mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya sampai generasi
selanjutnya.
Para Imam Madzhab dari keempat madzhab tersebut sepakat dengan
dalil yang masing-masing madzhab menambahkan metode istimbat hukum lainnya.
Misalnya, ulama` ushul fiqh dari kalangan Hanafiah mengakui teori-teori ushul
fiqh Imam Syafi`i, tetapi mereka menambah metode atau teori lainnya, yaitu
istihsan dan `uruf dalam mengistimbathkan hukum. Ulama` ushul fiqh Malikiyyah
juga melakukan hal yang sama yaitu dengan menambah ijma` ahlul Madinah
karena status ijma` ahlul Madinah merupakan sunnah yang secara turun
temurun dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada zaman mereka.
Disamping itu ulama` Malikiyyah menambahkan metode Mashlahatul Mursalah
dan Saad al-Zari`ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam Madzhab empat
tersebut, tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh
menyatakan bahwa pada masa keempat madzhab tersebut, ushul fiqh menemukan
bentuknya yang sempurna, sehingga generasi sesudahnya cenderung hanya memilih
dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamanny
masing-masing.
Dengan demikian, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh Islam
dapat dikatakan sebagai penolong faqih
dalam mengeluarkan hukum-hukum sayara` dari dalil-dalilnya. Dan bisa juga
dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan
pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid.
Sehubungan dengan ini, Ibnu Khaldun dan kitabnya Muqaddamah berkata,
“sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari`ah yang termuliaa, tertinggi
nilainya, dan terbanyak kaidahnya”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama` memandang ilmu ushul
fiqh sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan
dipandang sebagai ilmu syari`ah yang terpenting dan tertinggi nilainya.
Perlu diingat pula bahwa ushul fiqh merupakan suatu usaha ulama
terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dadalah lafadz yang terdapat
dalam nash syara` terurama dalam Al-Qur`an.
D.
Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Marak nya kajian ushul fiqh setelah Imam Syafi`i sebagai penemu
ushul fiqh terus berkembang yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda salah
merumuskan kaidah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah yang memang sudah jauh
terjadi sebelumnya, namun pada masa itu tampak jelas aliran ushul fiqh
mengkristal menjadi tiga aliran:
1.
Jumhur Ulama Ushul Fiqh
Disebut aliran jumhul ulama, karena aliran ini dianut oleh
mayoritas ulama yang terdiri dari kalangan ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan
Hambalilah. Disebut juga aliran Syafi`iyh, karena orang yang pertama kali
mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah Imam Syafi`i. Disebut
juga aliran mutakallimin karena para pakar di bidang ini sebelum Imam
Syafi`i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti
Imam al-Juwaeni, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam al-Ghazali.
Aliran jumhul ulama ini dalam metode pembahasan didasari oleh
logika yang bersifat rasional dan pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada.
Fokus perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap
hukum yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid atau hubungan kaidah dengan
masalah furu` (masalah khilafiah). Tetapi apa saja yang dianggap
rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok hukum syariat
islam baik sesuai dengan masalah furu` dalam berbagai madzhab atau
menyalahinya. Diantara ulama kalam yang ahli dalam bidang ushul fiqh adalah
ulama Syafi`iyah dan ulama malikiyah. Adapun kitab-kitab terkenal yang disusun
dengan metode logika ini adalah:
· kitab al-Musytasyfa karangan Abu Hamid al-Ghazaly, wafat 505
H,
· kitab al-Ahkam karangan abu Hasan al-Amidi, wafat 613 H, dan
· kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi`i wafat 685 H.
Adapun diantara
kitab syarah (komentar dan analisis) yang terbaik adalah kitab syarah al-Asnawi.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pembahasan ushul fiqh aliran jumhur ini bersifat teoretis
tanpa disertai contoh dan bersifat murni karena tidak mengacu kepada madzhab
fiqih tertentu yang sudah ada.
2.
Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha
Metode
Ahnaf dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikembangkan oleh ulama
Hanafiyah. Aliran ini juga disebut dengan aliran fuqaha (ahli fiqih),
karena sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih. Dalam
merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpendoman kepada pendapat fiqih Abu
Hanifah dan pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Cara
yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqra` (induksi), terhadap
pendpat-pendapat imam sebelumnya dan pengumpulkan pengertian makna dan
batasan-batasan yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi
darinya. Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun
kaidah-kaidah, ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah
menyandarkan ijtihadnya kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah
tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliah sebagai cabang
dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka atau membuktikan kaidah-kaidah
itu adalah beberapa hukum yang telah diistinbatkan oleh para imamnya dengan
bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang bersifat teoritis. Oleh
karena itu, mereka banyak menyebutkan masalah furu` dalam beberapa
kitabnya. Pada saat yang lain mereka menaruh perhatian serius terhadap
kaidah-kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah disepakati dan juga
kepada masalah furu`. Jadi, semata-mata perhtian mereka ini tertuju
kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil dari masalah-masalah furu`
dalam melakukan istinbat. Adapun kitab-kitab ang terkenal dalam aliran ini
yaitu:
a.
Kitab
Taqwin al-Adillah, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H),
b.
Kitab
Ushul, karangan Fahrul Islam (w. 430 H),
c.
Kitab
al-Manar, karangan al-Hafidh an-Nasafi (w. 790 H),
d.
Al-Fushul
fi al-Ushul, karangan Abu
Bakar al-Hashash,
e.
Kitab
Ushul, karangan al-Khurkhi (w. 340 H),
f.
Kitab
Ushul, karangan al-Jashshas (w. 370 H),
g.
Ta`sis
al-Nazhar, karangan al-Dabusi (w.430 H),
h.
Kitab Ushul al-Bazdawi, karangan al-Bazdawi
(w. 483 H) dan
i.
Al-Mabsuth, karangan al-Sharkhasi.
3.
Metode Campuran
Merupakan metode gabungan antara metode Mutakallimin dan metode
Hanafiyah. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasikan kedua aliran
terdahulu yang telah dijelaskan diatas. Mereka memerhatikan kaidah-kaidah
ushuliyah dam mengemukakan dalil-dalil atas kaidah itu, juga memperhatikan
penerapannya terhadap masalah fiqh far`iyah dan relevansinya dengan
kaidah-kaidah itu. Kitab-kitab yang termasuk ke dalam aliran campuran ini
antara lain:
a.
Kitab
al-Nizham, karangan al-Bazdawi,
b.
Al-ahkam, karangan Mudhoffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi 694 H,
c.
Al-Taudhih, karangan Shadrus Syariah,
d.
At-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hammam,
e.
Jam`u
al-Jawami`, karngan Ibnu Subki,
f.
Irsyad
al-Fukhul litahqiqi al-Haqqi min al-ilmi al-Ushul, karangan al-Saukani, w.1250 H,
g.
Kitab
Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek, w. 1927 dan
h.
Taushil
al-Wushul ila Ilmi al-Wushul,
karangan Syekh Muhammad Abdurrahman `Aid al-Mihlawi, w.1920.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebenarnya Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa
sahabat. Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum dibukukan
sebagai sebuah disiplin ilmu dan seiring berkembangnya zaman maka ilmu ushul
fiqh dibukukan. Dibukukannya ilmu ushul fiqh karena para ulama` memandang ilmu
ushul fiqh sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap
faqih dan dipandang sebagai ilmu syari`ah yang terpenting dan tertinggi
nilainya. Pelopor pertama pembukuan ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi`i dengan
metode-metode ijtihad dan sekaligus untuk pertama kalinya membukukan ilmu ushul
fiqh yang bersamaan dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah.
Marak nya kajian ushul fiqh setelah Imam Syafi`i sebagai penemu ushul fiqh
terus berkembang yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda salah merumuskan
kaidah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah yang memang sudah jauh terjadi
sebelumnya, namun pada masa itu tampak jelas aliran ushul fiqh mengkristal
menjadi tiga aliran:
1.
Jumhur
ulama ushul fiqh,
2.
Aliran
hanafiyah (ahnaf) atau fuqaha, dan
3.
Metode
campuran.
B.
Saran
Meskipun
kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini akan tetapi pada
kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami harapkan sebagai bahan evaluasi untuk
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an
al-Karim.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh.
2010. Jakarta: Amzah.
Abd. Wahhab, Tajuddin bin Ali al-Subki. Jam,u al-Jawami`i fi Ushul
al-Fiqh. Beirut: Daar Al-Kutub al-ilmiyah, 2002, Cet. Ke-2.
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh.
Beirut: Daar Al-Fikr al-Araby, 1958.
Effendi, Satria M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Fajar Interpratama
Offeset, 2009, Cet. Ke-3.
Goldzuher, Iqnaz. 1991. Pengantar Teologi dan Hukum Islam. Jakarta:
INIS.
Mardani. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nurhayati, dan Ali Imran. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group.
Syaifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syaikh Hudari Biek, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1988
M).
Wael B Hallaq,A History of Islamic Legal Theories, Sejarah Teori
Hukum Islam, Penerjemah: E Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid (Jakarta:
Rajawali Press, 2001, Cet. Ke-2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar