Kamis, 04 Juni 2020

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH


MAKALAH
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen : Ishak Syairozi, M.PdI.



OLEH :

Nurhasanah                                   (31.19.095)



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
Tahun2020/2021


KATA PENGANTAR
            Segala puji kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hikmah, hidayah, pengetahuan, kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah ini yang berjudul “SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH” dapat kami selesaikan. Kami sangat berterimakasih kepada Bapak Dosen Ishaq Syairozi, M.PdI. yang telah memberikan tugas makalah ini untuk pembelajaran mata kuliah Ushul Fiqh.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah dan perkembangan ushul fiqh. Ushul fiqh sendiri adalah alat atau sarana yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash Al-Qur`an dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hukum-hukum syara`. Dengan kata lain, ushul fiqh adalah menyangkut metodoligi atau teori yang bukan saja digunakan untuk memahami hukum-hukum syara`, melainkan juga berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah. Maka ushul fiqh itu sangatlah penting dikehidupan sehari-hari, oleh karena itu kita wajib mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi`in dan Imam Madzhab, karena dengan kita mengetahui sejarah tersebut kita akan dapat membedakan bagaimana ushul fiqh dari masa ke masa dan kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari. Dan bukan hanya itu kita juga harus mengetahui bagaimana pengaruh Manthiq Aristo dalam ushul fiqh, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh islam dan yang paling terpenting adalah mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh dan masih banyak lagi materi yang kita harus ketahui dalam mempelajari ushul fiqh, dengan mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh kita dapat meningkatkan sikap toleransi karena apa? kita mengetahui bahwa hukum-hukum islam itu bermacam-macam dan kita dapat menyikapi perbedaan itu secara bijaksana dengan kita mengetahui ilmu atau materi yang akan dibahas dalam mata kuliah ushul fiqh ini.
Kami sadar sepenuhnya, jika dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun menuju kesempurnaan dari pembaca untuk kesempurnaan makalah kami yang akan datang.



Jakarta, 12 Maret 2020





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................    i
DAFTAR ISI............................................................................................................    ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG..................................................................................    1
B.     RUMUSAN MASALAH..............................................................................    1
C.     TUJUAN PENULISAN................................................................................    1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh.........................................................    2
B.     Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqh.........................    7
C.     Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh Islam..................................    11
D.    Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh......................................................................    13
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN.............................................................................................    16
B.     SARAN.........................................................................................................    16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................    17













BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG

Ushul fiqh sendiri adalah alat atau sarana yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash Al-Qur`an dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hukum-hukum syara`. Dengan kata lain, ushul fiqh adalah menyangkut metodoligi atau teori yang bukan saja digunakan untuk memahami hukum-hukum syara`, melainkan juga berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyah. Maka ushul fiqh itu sangatlah penting dikehidupan sehari-hari, oleh karena itu kita wajib mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi`in dan Imam Madzhab, karena dengan kita mengetahui sejarah tersebut kita akan dapat membedakan bagaimana ushul fiqh dari masa ke masa dan kita sebagai mahasiswa dapat mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari.
 Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pengaruh Manthiq Aristo dalam ushul fiqh, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh islam dan yang paling terpenting adalah mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh dan masih banyak lagi materi yang kita harus ketahui dalam mempelajari ushul fiqh, dengan mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh kita dapat meningkatkan sikap toleransi karena apa? kita mengetahui bahwa hukum-hukum islam itu bermacam-macam dan kita dapat menyikapi perbedaan itu secara bijaksana dengan kita mengetahui ilmu atau materi yang akan dibahas dalam mata kuliah ushul fiqh ini. Dengan adanya makalah ini kita sebagai mahasiswa dapat terjun pada masyarakat dan memberikan pengertian bahwa sebenarnya semua hukum itu tidaklah satu namun banyak karena kita terdapat aliran yang berbeda-beda dan aliran tersebut sudah di ijtihadkan oleh para sahabat, tabi`in dan imam madzhab. Maka timbullah rasa toleransi dan saling menghargai di setiap perbedaan dan tidak ada lagi perpecahan diantara umat Rasulullah Saw.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi`in, dan Imam Madzhab?
2.      Bagaimana pengaruh Manthiq Aristo dalam perkembangan ushul fiqh?
3.      Bagaimana peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqih islam?
4.      Apa saja aliran-aliran dalam ushul fiqh?

C.     TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan ushul fiqh pada masa Rasulullah Saw, Sahabat, Tabi`in, dan Imam Madzhab,
2.      Untuk mengetahui pengaruh Manthiq Aristo dslsm prerkembngan ushul fiqh,
3.      Untuk mengetahui peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqih islam, dan
4.      Untuk mengetahui aliran-aliran dalam ushul fiqh.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
1.    Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a.    Masa Rasulullah SAW
Periode Mekkah ini istilah fiqh sebelum dikenal, tetapi banyak menekankan pada keyakinan akidah Islam yang berbentuk kepercayaan kepada keesaan Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, serta qada dan qadar sehingga nyaris tidak berbicara mengenai aturan-aturan hukum beribadah. Hal ini dikarenakan pembentukan keimanan merupakan modal yang sangat kuat dan penting dalam upaya penerimaan segala tindak laku ibadah yang akan ditawarkan saat itu untuk periode selanjutnya.
Pada masa ini Nabi Muhammad SAW menginformasikan dirinya sebagai utusan Allah (Rasulullah), sedangkan aturan-aturan akhlak belum dijadikan institusi keagamaan. Adapun akhlaknya yang baik, jujur sering bersemedi (tahannus) dan pekerja keras hanyalah merupakan temperamen dirinya secara pribadi dan belum menjadi kewajiban umat untuk mengikutinya. Saat ini belum ada perangkat aturan yang baku dalam menentukan bentuk, waktu, serta luasna kegiatan yng dianggap ibadah tersebut. Demikian juga batas-batas komunitas para penganut belum ditegaskan secara jelas. Aturan hukum ini baru dimulai ketika perintah untuk pertama sekali melakukan hijrah ke Madinah sebagai upaya tindakan penyelamatan diri dari penyiksaan kaum kafir Quraisy.

b.   Masa Sahabat
Wafatnya Rasulullah SAW menggores catatan baru dalam penetapan hukum. Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan permasalahan baru yang tidak ada pada zaman Nabi terkait dengan metode penetapan hukum. Untuk menetapkan hukum baru maka diantara sahabat berijtihad dengan bersumber pada Al-Qur`an dan Hadis. Maka pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi hanya Al-Qur`an dan Hadis tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.
Menurut Abu Zahra munculnya ilmu ushul fiqh bersamaan dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh lebih dahulu dibukukan sebelumnya. karena menurutnya fiqh sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa adanya metodologi istinbat. Dan metode istinbat ini sendiri adalah inti dari bagian ushul fiqh.
Di antara sahabat yang telah melakukan istinbath hukum adalah Ibnu Mas`ud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab, mereka tidak mungkin mengeluarkan hukum (istinbath) tanpa mengetahui dasar-dasar dan batasan-batasan ushul fiqh, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian.
Sewaktu Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia meminumia akan mabuk dan jika ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar, maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina (qadzaf)”. Dari pernyataan Ali itu, akan diketahui, bahwa Aliternyata menggunakan kaidah menutup pntu kejahatan yang timbul atau “sad az-zari`ah”.
Abdullah bin Mas`ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang kematian suami iddahnya adalah melahirkan anak, ia mengemukakan argumennya berdasarkan firman Allah dalam surat At-Thalaq (65): 4:

وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Meskipun juga ada firman Allah dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 234 yang menjelaskan bahwa istri yang kematian suami iddahnya empat bulan sepuluh hari.
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan bahwa ayat 4 urah At-Thalaq datang sesudah ayat 234 surah Al-Baqarah (2)
Dari tindakan Ibnu Mas`ud tersebut kelihatan bahwa dalam menetapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul fiqh naskh mansukh, yaitu bahwa dalil yang datang kemudian menghapus dalil yang datang terdahulu. Dengan demikian, jelaslah bahwa cara-cara penetapan hukum tersebut menunjukkan adanya metode ushul fiqh. Artinya kita harus meyakini bahwa ijtihad para sahabat semuanya berdasarkan metodologi, meskipun mereka tidak selalu menjelaskan hal tersebut.
Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum dibukukan sebagai sebuah disiplin ilmu. Kemahiran mereka dalam ijtihad di samping dari pengaruh bimbingan Rasul juga penguasan mereka terhadap bahasa Arab yang sangat baik. Mereka yang kemudian dikenal banyak melakukan ijtihad adalah yang mengikuti langsung praktik tasyri` dari Rasulullah SAW. mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, selalu menyertainya dan menyaksikan langsung praktik ijtihad Rasul, sehingga mereka sangat memahami bagaimana cara memahami ayat dan menangkap tujuan pembentukan hukumnya.
Imam Khudari Bek memberikan komentar yang positif terhadap praktik ijtihad para sahabat “setelah Rasul wafat mereka sudah siap menghadapi perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan hukum dengan melakukan ijtihad meskipun kaidah ushul fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Cara yang dilakukan oleh sahabat dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abd Wahhab Abu Sulaiman, guru besar Ushul Fiqh Universitas Ummul Qura Makkah seperti dikutip oleh Satria Efendi, langkah pertama yang mereka tempuh adalah mempelajari teks Al-Qur`an dan kemudian sunnah Nabi. Jika tidak ditemukan pada kedua sumber buku ini maka mereka melakukan ijtihad, baik secara perorangan atau mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan mereka disebut dengan ijma` sahabat. Selain menggunakan qiyas,mereka juga menggunakan istislah yang didasari oleh maslahah mursalah seperti megumpulkan Al-Qur`an dalam satu mushaf.
Dapat disimpulkan bahwa para sahabat telah menggunakan ijma`, qiyas dan istislah (maslahah mursalah) jika hukum sesuatu tidak ditemukan dalam Al-Qur`an dan sunnah. Dengan demikian prakarsa ijtihad yang dilakukan oleh sahabat setelah wafat Rasulullah telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat ketika itu. Menurut Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian mewariskan metodologi yang dijadikan dasar dalam merumuskan ushul fiqh.

c.    Masa Tabi`in
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya, yaitu masa tabi`in, tabi` al-tabi`in serta imam-imam mujtahid sekitar abad kedua dan ketiga hijriah. Pada masa ini Daulah Islamiyyah sudah semakin berkembang dan bak muncul kejadian baru. Berbagai kesulitan, perselisihan dan pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu per satu bermunculan. Semua persoalan ini menambah beban kepada imam mujtahid untuk membuka cakrawala yang lebih luas terhadap lapangan ijtihad yang membawa konsekuensi semakin meluasnya lapangan hukum syariat islam (hukum fiqh) dan hukum beberapa peristiwa yang masih bersifat kemungkinan (prediksi). Sumber yang mereka gunakan pada periode ini adalah sumber hukum pada dua periode sebelumnya (periode Nabi dan Sahabat). Jadi sumber ushul fiqh pada masa periode ini terdiri dari hukum Allah (Al-Qur`an), Rasul-Nya (Hadis), fatwa dan keputusan sahabat Rasul serta fatwa mujtahidin.
Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyimpulkan bahwa ada masa tabiin ini, metode istinbat sudah mengalami perluasan yang pesat dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah luasnya wilayah kekuasaan islam. Fenomena ini membawa konsekuensi kepada munculnya permasalahan baru yang memerlukan pemecahan hukumnya. Diantara tabiin yang memiliki kemampuan tinggi untuk berfatwa adalah Said bin al-Musayyab (15 H-94 H) di Madinah, Al-Qamaah ibn Qays (w. 62 H), Ibrahim al-Nakha`i (w. 96 H). Prestasi tiga tabiin ini tidak lepas dari sentuhan pendidikan yang diberikan oleh para sahabat. Sumber istinbat hukum pada masa tabiin meruju` kepada Al-Qur`an, sunnah Rasullullah, fatwa sahabat, ijma`, qiyas, dan maslahah mursalah jika tidak didapati hukumnya dalam nas.

d.   Mujtahid Sebelum Imam Syafi`i
Pada masa imam mujtahid sebelum Imama Syafi`i dikenal dua tokoh besar, yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Kedua tokoh mujtahid ini telah memperlihatkan penggunaan metode yang lebih jelas.
Imam Abu Hanifah al-Nu`man (w. 150 H), pendiri mazhab Hanafi menggunakan dasar istinbatnya secara berurutan yaitu al-Qur`an, sunnah dan fatwa sahabat dan jika tidak terdapat pada tiga sumber hukum di atas maka ia berpegang kepada pendapat yang disepakati oleh para sahabat. Imam Abu Hanifah jika dihadapkan oleh beberapa pendapat yang berbeda, maka ia memilih salah satu pendapat dan tidak akan mengeluarkan pendapat baru. Imam Abu Hanifah tidak berpegang pada pendabat tabiin karena sejajar dengan mereka. Dalam melakukan jtihad, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai mujtahid yang banyak menggunakan qiyas dan istihsan. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.
Imam Malik bin Anas dalam ijtihadnya juga memiliki metode yang cukup jelas, seperti terlihat pada sikapnya dalam mempertahankan praktik ahli Madinah sebagai sumber hukum. Satu hal penting yang perku dicatat bahwa sampai pada masa Imam Malik sendiri tidak meninggalkan karyanya dalam bidang ushul fiqh.
2.    Pembukuan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh tumbuh pada abad kedua hijrah. Pada abad pertama hijriah ilmu ini belum tumbuh, karena belum terasa diperlukan. Rasulullah SAW berfatwa dengan menjatuhkan keputusan (hukum) berdasarkan Al-Qur`an dan Hadis, dan berdasar naluriah yang bersih tanpa memerlukan ushul atau kaidah yang dijadikan sebagai sumber istinbat hukum. Adapun sahabat Nabi membuat keputusan hukum berdasarkan dalil nas yang dapat mereka pahami dari aspek kebahsaan smampu mereka, dan untuk memahaminya secara baik diperlukan kaidah bahasa.di samping itu, mereka juga melakukan istinbat hukum sesuatu yang tidak terdapat dalam nas berdasarkan kemampuan mereka, berdasarkan ilmu tentang hukum islam yang telah mereka kuasai disebabkan banyaknya pergaulan mereka bersama Nabi serta menyaksikan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al-Qur`an) dan asbabun wurud (sebab-sebab turunnya hadis). Jadi, para sahabat ketika itu sudah benar-benr memahami tujuan-tujuan hukum syariat serta dasar-dasar pembentukannya.
Setelah kekuasaan Islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab sudah memperluas pergaulannya dengan bangsa lain baik bentuk lisan ataupun tulisan. Sehingga terjadilah penyerapan bahasa asing dalam bentuk mufradat dan tata bahasa ke dalam bahasa Arab yang menimbulkan kesamaran-kesamaran dan kemungkinan lain dalam rangka memahami nas. Dari latar belakang itulah, maka perlu disusun batasan-batasan dan kaidah bahasa, yang dengan kaidah itu nas dapat dipahami sebagaimana orang Arab memahaminya.
Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum Islam sudah semakin meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjailah perdebatan sengit antara ahlul hadis dan ahlul al-ra`yi. Dipihak lain semakin berani juga orang-orang yang tidak ahli agama (ahlul ahwa), menjadikan sesuatu sebagai hujah padahal sesuatu itu bukan hujah dan sebalknya mereka mengingkari sesuatu yang justru hal itu adalah hujah. Semua ini merupakan dorongan yang kuat untuk menyusun batasan-batasan tentang dalil syariat, syarat-syarat serta cara menggunakan dalil. Semua pembahasan yang berhubungan dengan dalil-dalil serta batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian menjelma menjadi ilmu ushul fiqh.
Penghujung abad kedua dan awal abad ketiga hijriah muncul ulama bernama  Muhammad bin Idris al-Syafi`i (150 H-204 H) yan menggagas, meramu, mensistematiskan dan membukukan ilmu ushul fiqh.
Sebelum Imam Syafi`i, tercatat orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang bercerai-berai dalam satu kumpulan adalah Imam Abu Yusuf seorang pengikut Imam Abu Hanifah.tetapi kumpulan ini tidak sampai pada kita. Adapun orang yang pertama kali melakukan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan dalam ilmu ushul fiqh secara sistematis dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan uraian yang mendalam dialah Imam Muhammad bun Idris al-Syafi`i yang meninggal pada tahun 204 H. Kemudian hasil pentadwinan (kodifikasi) itu diberinama kitab al-Risalah , yang merupakan kitab pertama dalam ilmu ushul fiqh dan wujud kitabnya sampai dihadapan kita sekarang. Dengan demikian, populerlah dikalangan ilmu ushul bahwa orang yang pertama kali menyusul ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi`i.
Dijelaskan oleh Satria Effendi bahwa kitab al-Risalah yang berarti sepucuk surat pada mulanya adalah lembaran-lembaran surat yang dikirimkan oleh Imam Syafi`i kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), eorang ulama ahli hadis ketika itu. Munculna kitab al-Risalah adalah fase awal perkembangan ushul fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu. Secara umum kitab ini membahas tentang landasan-landasan pembentukan fiqh, yaitu al-Qur`an, sunnah, ijma`, fatwa sahabat, dan qiyas.
Masa pembukuan ushul fiqh yang dilakukan oleh Imam Syafi`i,seperti dijelaskan di atas bersamaan dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan keislaman yang disebut sebagai masa keemasan Islam yang dimulai dari masa Harun al-Rasyid (145 H-193 H) khalifak kelima dinasti Abbasiyah dan kemudian dilanjutkan  lagi oleh putranya bernama al-Ma`mum (170H-218 H). Salah satu indikator kemajuan ilmu di kota Baghdad sehingga Baghdad pada saat itu menjadi mencusuar ilmu yang didatangi oleh orang dari berbagai wilayah Islam.
Setelah Imam Syafi`i menyusun kitabnya yang monumental itu, kemudian berbondong-bondonglah ulama menyusun ilmu ushul fiqh baik dalam bentuk panjang lebar (ishab) ataupun ringkas (`ijaz). Tak ketinggalan ulama ilmu kalam (ahli teologi), menyusun ilmu ini dengan caranya sendiri begitu juga ulama Hanafiyah juga menyusun imu ushul fiqh dengan menggunakan caranya sendiri.
Karya Ilmiah di bidang ilmu ushul fiqh setelah Imam Syafi`i yang tercatat pada abad ke-3 hijriah antara lain: al-Khabar al-Wahid, karya Isa Ibn Abban Ibn Sedekah (w.220 H) dari kalangan Hanafiyah, al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin Hambal (w. 164 H-241 H), pendiri mazhab Hambali dan kitab Ibtal al-Qiyas oleh Daud al-Zahiri (200 H-270 H) pendiri mazhab Zahiri.
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Khulasat Tarikh al-Tasri al-Islami,pada pertengahan abad ke-4 H., terjadi kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dalam pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru. Namun pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang ushul fiqh berkembang pesat. Ushul fiqh tetap berperan sebagai alat pengukur kebenaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan penelitian Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh tidaklah langsung menjadi ilmu yang besar. Akan tetapi, sedikit demi sedikit terus berkembang menjadi besar. Tercatat dalam sejarah, setelah mencapai perjalanan 200 tahun barulah ilmu ushul fiqh tumbuh dengan subur, tersebar dan terpencar disela-sela hukum fiqh.
                  
B.     Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqh
Kehidupan manusia pada dasarnya merupakan proses berkelanjutan. Kebudayaan yang ada ditengah-tengahmasyarakat tidak dapat dipisahkan dari pengaru budaya masa lampau, demikian juga perkembangan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses reformulasi dan rekonstruksi terhadap tatanan pengetahuan dimasa lampau. Ushul fiqh sebagai ilmu yang berkembang dikalangan ulama muslim pada dasarnya juga tidak bisa delepaskan dari pengaruh peradaban yang ada pada masa sebelumnya. Sebagai salah satu faktor ekstern, di samping faktor intern yang ada didunia dilihat islam sendiri.
Salah satu faktor intern yang “mengubah” kuat memberikan konstribusi yang cukup besar terhadap perkembangan ushul fiqh adalah filsafat Aristoteles yang lebih besar masuk ke dalam dunia pemikiran islam melalui proyek penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Contoh pengaruh dan konstitusi filsafat Aristoteles dalam penyusunan dan pengembangan ushul fiqh di dunia islam.
1.    Konsep Qiyas
Imam Syafi`i mewakili orang yang dinggap sebagai peletak dasar ushul fiqh. Hal ini karena Imam Syafi`i-lah yang pertama kali menjelaskan konsep ushul fiqh secara lengkap dalam kitab al-Risalah.
Dalam kitabnya, al-Risalah, memang al-Syafi`i tidak secara eksplisit mengutip atau membahas filsafat dan logika Aristoteles, akan tetapi metode yang digunakan dalam penyusunan al-Risalah yang menunjukkan keterwakilan komunikasi Aristoteles. Menurut Mustafa Basya, tidak-tidak logis yang tampak pada kitab al-Risalah adalah penggunaanistilah-term yang domian untuk klasifikas. Penggunaan istilah-istilah yang berkaitan dengan kebijakan ini memperbaiki kebiasaan ahli logika pada masa itu. Lebih jauh, al-Syafi`i juga menggunakan metode diskusi dalam menjelaskan suatu masalah, sehinggaseakan-akan ada dua orang yang berdebatdalam masalah hukum tersebut. Metode diskusi dalam al-Risalah ini banyak sekali disetujui oleh bentu-bentuk logika seperti ada perbedaa, genus dan spesies.
Teori qiyas yang digagas oleh al-Syafi`i juga “mengubah” mendapat pengaruh dari konsep Aristoteles. Konsep qiyas yang dimunculkan oleh al-Syafi`i ini merupakan teori yang baru yaitu tata cara menggambil hukum berdasarkan beberapa persyaratan ketat yang disandarkan pada nash. Pembakuan qiyas ini menjadikan sifat qiyas berbeda dari sebelumnya, yang dipahami sebagai lasan hukum yang fleksibel dan dinamis. Dalam pembakuan teori qiyas ini al-Syafi`i memang tidak pernah membahas persyaratan khususuntuk qiyas, namun berdasarkan contoh-contoh yang diberikan, harus memenuhi persyaratan empat bagi yang dikemukakan oleh ulama munculnya seperti ashl, far’. Hukum al-Ashl dan ‘Illat qiyas yang dicontohkan oleh Imam al-Syafi`i ternyata memiliki substansi yang sama dengan premis-premis dalam silogisme logika Aristotele, pertama, menggunakan premis mayor, premis minor, dan mengambil konklusi. Kedua, mesing-masing fungsi premis dalam qiyas dan logis itu sma, yaitu mencari kesimpulan yang logis dan benar.
Pengaruh filsafat Aristoteles dalam qiyas al-Syafi`i juga bisa dilacak dari genealogi keilmuan yang didukung oleh al-Syafi`i. Berdasarkan guru-guru yang lebih keilmuannya, maka konsep qiyas al-Syafi`i terlacak bersumber dari metode tasybih dalam ilmu balaghah. Metode pertama kali dikenalkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Faramdi (w. 170 H) yang dilanjutkan oleh muridnya Sibawayhi (w. 180 H). Mereka berdua adalah diantara para guru al-Syafi`i yang ditawarkan dalam bidang gramatikal bahasa. Sementara, menurut al-Jabiri, al-Khalil bin Ahmad dan Sibawayhi banyak mengilhami ilmu-ilmu Yunani termasuk logika Aristoteles dalam menyusun gramatika bahasa Arab secara umum.
Pasca al-Syafi`i, Aristoteles, semakin pintar pengaruhnya terhadap perkembangan ushul fiqh. Terutama setelah al-Ghazali secara terang-terangan menfatwakan logika Arisstoteles sebagai salah satu syarat ijtihad. Berkaitan dengan peran dalam agama, Imam al-Ghazali menyatakan: “logika adalah dasar ilmu pengetahuan, lebih dari biasanya pendahuluan atau cabag ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, siap yang tidak mengerti logika, maka ilmunya tidak dipercaya”.
Berdasarkan fenomena diatas dapat diajukan bahwa konsep qiyas ushul fiqh semenjak masa al-Syafi`i sudah mengandung tidak-tidak, logika Aristoteles dan semakin banyak teradopsi pada masa setelah Imam al-Ghazali. Namun, masuknya silogisme logika Aristotelis kedalam qiyas semenjak al-Syafi`i, ternyata mmbuat qiyas kurang berkembangdan kurang dinamis, liberal dan akomodatif dalam menyikapi perkembanga hukum di masyarakat. Salah satu alasannya adalah adanya pengadopsianyang persial terhadap filsafat Aristotelis, yaitu metode deduktif-silogitik an sich dan menggunakan metode induktif-empirik sehingga terjadi pengaduan yan sudah ada tanpa melibatkan peran untuk melakukan inovasi dalam rangka menemukan ide-ide baru yang orisinil.
2.    Konsep Maqasid al-Syari`ah
Ibnu Rusyd, salah seorang fuqaha pengagum Aristoteles pernah menyatakan agama dan filsafat tidak akan pernah membantah.
“Filsafat merupakan sahabat karib syari`ah dan teman sesusuannya”
Singkatnya, filsafat tidak bertenangan dengan agam. Jika di permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka hal itu lebih karena faktor kekeliruan atau kekurang-pahaman dalam menunjangnya karena target atau sasaran yang terkait dengan umat manusia, baik dari kalangan awam maupun tokoh-tokoh terpelajarnya. Maka sarana yang dipakai sesuai dengan ukuran pemahaman kaum awam yaitu metode retorika (kitabiyah), metode dialektika (jadaliyah) dan metode persuasif (iqna`iyah). Meskipun demikian, agama melepaskan menafikan metode rasionalisme (burhani), bahkan menganjurkannya agar menjadi sarana yang efektif untuk kalangan ulama atau kaum rasionalis (ashab al-burhan) untuk mengevaluasi agama misalnya dengan metode ta`wil atau penafsiran rasional.
Prinsip dasar yang harus dipatuhi oelh bentuk penafsiran rasional adalah “maqashid al-syar`i” (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuar syari`at). Prinsip dasar dalam disiplin dalam filosofi “kausalitas”. Prinsip “maqashid al-syar`i” juga tergolong dalam kategori al-sabab al-gha`iy (sebab akhir, sebab terakhir) yang disebut Aristoteles.
Jadi jika dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas maka dimensi kausalitas agama dibangun atas prinsip “maqashid al-syar`i”. Proyekyang diangkat oleh Ibnu Rusyd ini, khusus tentang hubungan antara agama dan filsafat satu sama lain orisinil dan rasional. Dalam arti mampu memahami dimensi realitas dalam agama juga dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas dasar keteraturan dan keajegan alam ini juga pada prinsip prinsipalitas kausalitas, sedangkan rasionalitas agama dibangun diatas landasan dan tujuan sang pembuat syari`at yang bermuara pada penggerak untuk manusia untuk nilai-nilai kebajikan yang kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep “maqasid al-syar`i”. Disinilah kita melihat konstribusi filsafat Aristoteles terhadap konsep awal maqasid al-syar`i.
Pandangan sistematik-aksiomatik dan berpegang teguh pada “maqasid” sebagai landasan membangun rasionalisme ini kemudian dimulai oleh al-Syatibi dalam upaya mengembangkan proyek pembaharuan dan koordinasi ushul fiqh. Dalam proyek pengembangan disiplin ushul fiqh ini, al-Syatibi, menerima Ibnu Rusyd, banyak terinspirasi oleh filsafat Aaristoteles.
Persoalan yang muncul adalah, bagaimana mungkin membangun dimensi rasionalitas dalam agama atas dasar prinsip ‘al-qathi’ (kepastian) yang sebanding dengan prinsip ‘al-yaqin’ dalam filsafat, sedangkan dalam agama hukuman menghadapi masalah ini, al-Syatibi kemudian mengatakan bahwa semua bisa terjadi pada metode rasionalisme agar disiplin ushul fiqhpun berdasarkan pada prinsip ‘kulliyyah al-syari`at’ (prinsip-prinsip agam universal) dan prinsip “maqasid al-syari”. Prinsip “kulliyyah al-syari`ah” memiliki posisi yang sama dengan “al-kulliyyah al-aqliyyah” (prinsip-prinsip universal) dalam filsafat, sedangkan “maqasid al-syari” mirip dengan posisi “al-sabab al-qhat`i” (penyebab terakhir) yang digunakan sebagai pembentuk non-penalaran rasional.
Metode yang digunakan untuk mencapai “kulliyyah al-syari`ah” adalah metode induksi (istiqra`iyah) yaitu dengan membandingkan pelaporan kasus masalah spsifik atau juz`iyyah dalam masalah-masalah agama, masalah-masalah permintaan transaksi dan kesulitan dari sana. Kemudian ditarik beberapa prinsip  universalitas yang sifatnya universalitas kuantitatif, namun tetap mengandung makna pasti (qath`i), karena ditarik dari sesuatu yang qath`i pula.
Universalitas syari`at ini tetap mengandung arti pasti dan pasti (al-qath`i) karena metode induksi yang dibangun diatas dasar yang ditambahkan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam tradisi ilmu-ilmu rasional.
Menurut al-Syatibi, lebih dari tiga prinsip dasar yang membuat universalitas syari`at mengandung arti pasti dan pasti, yaitu:
1)   Prinsip keumuman dan keterjangkaun.
Hukum-hukum agama umum, luas dan semua objektif taklif, dan tidak berlaku khusus untuk satu waktu dan tempat tertentu saja.
2)   Prinsip kepastia dan ketidak berubahan
Hukum-hukum adama demikian juga, yang wajib tetap, yang haram tetap haram. Apa yang menjadi sebab, akan tetap menjadi sebab, demikian juga syari`at akan tetap menjadi syari`at.
3)   Prinsip legalitas
Yaitu yang menentukan disiplin keilmuan ini menjadi penentu bukan sebaliknya didikte atau ditentukan oleh selainnya. Sisiplin syari`at terdiri atas perintah-perintah dan larangan-larangan yang tidak mungkin ada yang mengatasinya, jadi, sesuai syarat, harus diselesaikan dalam disiplin ilmu.
            Ini adalah konsep universalitas syari`at atau premis-premis rasional dalam disiplin ushul fiqh. Selanjutnya tentang “maqasid al-syari`ah”, al-Syatibi mengatakan bahwa al-syari`ah terdiri dari empat unsur pokok yaitu:
1)   Syari`at agama diturunkan dalam rangka kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan manusia ini terbagi dalam tiga tingkatan:
a.       Dlaruriyah (kepentingan primer)
        Kepentingan primer merupakan kepentingan yang harus selalu diselesaikan dalam kehidupan manusia yang meliputi lima kepentingan dasar (al-dlaruriyah al-khams) yaitu menyelamatkan agama (hifdh al-din), mningkatkan jiwa (hifdh al-nafs), butuh akal (hifdh al-aql), hijrah al-nasl, hijrah al-hijrah.
b.      Hajjiyah (kepentingan sekunder)
        Hajjiyah atau kepentingan sekunder mencangkup umlah tidak terbatas, seperti kebutuhan sandang, papan, dsb.
c.       Tahsiniyah (kepentingan tersier/pelengkap)
        Kebutuhan rekreasi.
2)        Syari`at islam di berlakukan untuk diterjemahkan dan dihayati oleh umat manusia, karena islam diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam lingkungan sosial masyarakat Arab, maka untuk memahaminya perlu diperbaiki untuk apa yang dikenal oleh bangsa Arab baik untuk bahasa yang terkait dengan sosial mereka.
3)        Tidak dari maqasid al-syari`ah adalah taklif yaitu pembebanan hukum-hukum agama kepada manusia . rumusannya adalah “setiap hukum yang berada di luar kesanggupan mukallaf, secara penuh tidak akan disetujui, disetujui oleh akal” karena Allah SWT tidak akan membebani seseorang diluar kemampuan dang kesanggupannya.
4)        Bukan merupakan tahap pertama atau terakhir dari maqasid al-syari`ah adalah “melepaskan mukallaf dari belenggu mendoronh hawa nafsunya sehingga ia akan menjadi hamba Allah dengan kodrati”.
                        Demikian keempat, maqasid al-syari`ah yang digagas al-Syatibi. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah tentang pentingnya kehadiran konsep maqasid al-syari`ah dengan konsep kausalitas Aristoteles yang juga terdiri dari empat orang.
1.   Antara “sebab efesien (penyebab efesien)” dengan “pelepassan mukallaf dari belenggu hawa nafsu”.
2.   Antara “sebab akhir” dengan “kemaslahatan umat manusia”.
3.   Antara “sebab material” material “dengan kemampuan mukallaf”.
4.   Antara “sebab formal” dengan “kondisi sosio-histori masyarakat Arab”.
                        Adanya kemiripan di atas memperlihatkan satu bukti tentang konstribusi filsafat Aristoteles dalam mengemban konsep maqasid al-syari`ah dalam disiplin ilmu fiqh.

C.    Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh Islam
Kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqh merupakan salah satu upaya dalam menjaga  keasrian hukum syara` kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriah. Ushul fiqh itu terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga puncaknya pada abad kelima dan awal abad keenam hijriah. Pada abad tersebut merupakan abad keemasan penulisan ushul fiqh karena banyak ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pda abad inilah muncul kitab-kitab ushul fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk perkembangan ushul fiqh selanjutnya.
Target yang hendak dicapai oleh ushul fiqh ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara` yang bersifat furu` dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari keekliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh berarti, sesorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.
Target studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi non mujtahid yang mempelajari fiqih islam, target ushul fiqh itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam mengistinbath hukum sehingga ia dapat mentarjih dan mentakhrij pendapat madzhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar, kecuali dengan diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istinbath.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa motif dirintitasnya, dikodifikasikannya, dan ditetapkan kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid kaidah itu untuk keperluan istinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi`in. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bukan ahli ijtihad tetap berijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang kebih ringan mudharatnya, yakni menutup pintu ijtihad. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu pula untuk main-main dalam hukum syara` dapat dihindari.
Tujuan yang hendak dicapai dari ushul fiqh adalah untuk menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara` yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara` yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara` dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqh sebagaimana telah ijelaskan diatas, sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar sepuluh abad yang lalu, dan manusia sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh pada hukum-hukum fiqih yang tertulis dalam kitab-kitab madzhab fiqih, hal ini berarti dari ilmu ushul fiqh tidak tercapai.
Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah berdasar dalil syara`. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena pertimbangan-pertimbangan yang telah ditemukan diatas. Dengan demikian, bagi seseorang yang memenuhi syarat ijtihad, tidak ada halangan baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa isjtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan bisa kembali lagi sebagaimana dimasa Aminat Al-Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam berijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad.
Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul fiqh selalu ada. Hal ini karena mujtadid madzhab yang tidak samapai ketingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqh. Dan bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan iman madzhabnya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya. Demikian pula ulama hendak mentajrih pendapat imam madzhabnya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqh sebab tanpa mengetahui ilmu tersebut, ia tidak mungkin dapat mentajrih dengan baik dan benar.
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam mengistinbathkan hukum dari Al-Qur`an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistinbathkan hukum sebagai berikut:
1.    Al-Qur`an,
2.    Hadits,
3.    Fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat,
4.    Fatwa para tabi`in yang sejalan dengan pemikiran mereka,
5.    Qiyas dan
6.    Istishan.
Sedangakan Imam Malik, berpegang pada Al-Qur`an, Sunnah, juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalam penduduk Madinah (`amal ahlul Madinah).
Selanjutnya Imam Syafi`i dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus buat pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh yang bersamaan dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Imam Syafi`i berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahlul hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahlul ro`yi di Irak. Dalam kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi`i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat menjadikan patokan umum dalam mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya. 
Para Imam Madzhab dari keempat madzhab tersebut sepakat dengan dalil yang masing-masing madzhab menambahkan metode istimbat hukum lainnya. Misalnya, ulama` ushul fiqh dari kalangan Hanafiah mengakui teori-teori ushul fiqh Imam Syafi`i, tetapi mereka menambah metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan `uruf dalam mengistimbathkan hukum. Ulama` ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama yaitu dengan menambah ijma` ahlul Madinah karena status ijma` ahlul Madinah merupakan sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama` Malikiyyah menambahkan metode Mashlahatul Mursalah dan Saad al-Zari`ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam Madzhab empat tersebut, tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat madzhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamanny masing-masing.
Dengan demikian, peranan ushul fiqh dalam pengembangan fiqh Islam dapat dikatakan sebagai penolong  faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum sayara` dari dalil-dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu Khaldun dan kitabnya Muqaddamah berkata, “sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari`ah yang termuliaa, tertinggi nilainya, dan terbanyak kaidahnya”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama` memandang ilmu ushul fiqh sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari`ah yang terpenting dan tertinggi nilainya.
Perlu diingat pula bahwa ushul fiqh merupakan suatu usaha ulama terdahulu dalam rangka menjaga keutuhan dadalah lafadz yang terdapat dalam nash syara` terurama dalam Al-Qur`an.

D.    Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh
Marak nya kajian ushul fiqh setelah Imam Syafi`i sebagai penemu ushul fiqh terus berkembang yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda salah merumuskan kaidah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah yang memang sudah jauh terjadi sebelumnya, namun pada masa itu tampak jelas aliran ushul fiqh mengkristal menjadi tiga aliran:


1.    Jumhur Ulama Ushul Fiqh

Disebut aliran jumhul ulama, karena aliran ini dianut oleh mayoritas ulama yang terdiri dari kalangan ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hambalilah. Disebut juga aliran Syafi`iyh, karena orang yang pertama kali mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah Imam Syafi`i. Disebut juga aliran mutakallimin karena para pakar di bidang ini sebelum Imam Syafi`i adalah dari kalangan mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti Imam al-Juwaeni, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam al-Ghazali.
Aliran jumhul ulama ini dalam metode pembahasan didasari oleh logika yang bersifat rasional dan pembuktiannya oleh kaidah-kaidah yang ada. Fokus perhatian mereka tidak diarahkan kepada soal penerapan kaidah terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid atau hubungan kaidah dengan masalah furu` (masalah khilafiah). Tetapi apa saja yang dianggap rasional dan terdapat dalil baginya, maka itulah sumber pokok hukum syariat islam baik sesuai dengan masalah furu` dalam berbagai madzhab atau menyalahinya. Diantara ulama kalam yang ahli dalam bidang ushul fiqh adalah ulama Syafi`iyah dan ulama malikiyah. Adapun kitab-kitab terkenal yang disusun dengan metode logika ini adalah:
·      kitab al-Musytasyfa karangan Abu Hamid al-Ghazaly, wafat 505 H,
·      kitab al-Ahkam karangan abu Hasan al-Amidi, wafat 613 H, dan
·      kitab al-Minhaj karangan al-Baidhowi al-Syafi`i wafat 685 H.
Adapun diantara kitab syarah (komentar dan analisis) yang terbaik adalah kitab syarah al-Asnawi.
                        Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembahasan ushul fiqh aliran jumhur ini bersifat teoretis tanpa disertai contoh dan bersifat murni karena tidak mengacu kepada madzhab fiqih tertentu yang sudah ada.

2.    Aliran Hanafiyah (Ahnaf) atau Fuqaha

Metode Ahnaf dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikembangkan oleh ulama Hanafiyah. Aliran ini juga disebut dengan aliran fuqaha (ahli fiqih), karena sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpendoman kepada pendapat fiqih Abu Hanifah dan pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Cara yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqra` (induksi), terhadap pendpat-pendapat imam sebelumnya dan pengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi darinya. Metode yang dipakai oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah, ditempuh berdasarkan asumsi bahwa para imamnya terdahulu telah menyandarkan ijtihadnya kepada kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan ushuliyah tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliah sebagai cabang dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka atau membuktikan kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah diistinbatkan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang bersifat teoritis. Oleh karena itu, mereka banyak menyebutkan masalah furu` dalam beberapa kitabnya. Pada saat yang lain mereka menaruh perhatian serius terhadap kaidah-kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah disepakati dan juga kepada masalah furu`. Jadi, semata-mata perhtian mereka ini tertuju kepada masalah ushul fiqh para imamnya yang diambil dari masalah-masalah furu` dalam melakukan istinbat. Adapun kitab-kitab ang terkenal dalam aliran ini yaitu:
a.    Kitab Taqwin al-Adillah, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H),
b.    Kitab Ushul, karangan Fahrul Islam (w. 430 H),
c.    Kitab al-Manar, karangan al-Hafidh an-Nasafi (w. 790 H),
d.   Al-Fushul fi al-Ushul, karangan Abu Bakar al-Hashash,
e.    Kitab Ushul, karangan al-Khurkhi (w. 340 H),
f.     Kitab Ushul, karangan al-Jashshas (w. 370 H),
g.    Ta`sis al-Nazhar, karangan al-Dabusi (w.430 H),
h.    Kitab  Ushul al-Bazdawi, karangan al-Bazdawi (w. 483 H) dan
i.      Al-Mabsuth, karangan al-Sharkhasi.

3.    Metode Campuran

Merupakan metode gabungan antara metode Mutakallimin dan metode Hanafiyah. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasikan kedua aliran terdahulu yang telah dijelaskan diatas. Mereka memerhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dam mengemukakan dalil-dalil atas kaidah itu, juga memperhatikan penerapannya terhadap masalah fiqh far`iyah dan relevansinya dengan kaidah-kaidah itu. Kitab-kitab yang termasuk ke dalam aliran campuran ini antara lain:
a.    Kitab al-Nizham, karangan al-Bazdawi,
b.    Al-ahkam, karangan Mudhoffaruddin al-Baghdadi al-Hanafi 694 H,
c.    Al-Taudhih, karangan Shadrus Syariah,
d.   At-Tahrir, karangan al-Kamal bin Hammam,
e.    Jam`u al-Jawami`, karngan Ibnu Subki,
f.     Irsyad al-Fukhul litahqiqi al-Haqqi min al-ilmi al-Ushul, karangan al-Saukani, w.1250 H,
g.    Kitab Ushul Fiqh, karangan Khudari Bek, w. 1927 dan
h.    Taushil al-Wushul ila Ilmi al-Wushul, karangan Syekh Muhammad Abdurrahman `Aid al-Mihlawi, w.1920.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebenarnya Fiqih sebagai produk ijtihad telah muncul sejak masa sahabat. Dalam melakukan ijtihad, secara praktis mereka banyak menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun kaidah ushul fiqh ketika itu belum dibukukan sebagai sebuah disiplin ilmu dan seiring berkembangnya zaman maka ilmu ushul fiqh dibukukan. Dibukukannya ilmu ushul fiqh karena para ulama` memandang ilmu ushul fiqh sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari`ah yang terpenting dan tertinggi nilainya. Pelopor pertama pembukuan ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi`i dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus untuk pertama kalinya membukukan ilmu ushul fiqh yang bersamaan dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Marak nya kajian ushul fiqh setelah Imam Syafi`i sebagai penemu ushul fiqh terus berkembang yang diwarnai oleh kecenderungan yang berbeda salah merumuskan kaidah dalam memahami al-Qur`an dan sunnah yang memang sudah jauh terjadi sebelumnya, namun pada masa itu tampak jelas aliran ushul fiqh mengkristal menjadi tiga aliran:
1.    Jumhur ulama ushul fiqh,
2.    Aliran hanafiyah (ahnaf) atau fuqaha, dan
3.    Metode campuran.

B.     Saran
Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan kami. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an al-Karim.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. 2010. Jakarta: Amzah.
Abd. Wahhab, Tajuddin bin Ali al-Subki. Jam,u al-Jawami`i fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar Al-Kutub al-ilmiyah, 2002, Cet. Ke-2.
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut: Daar Al-Fikr al-Araby, 1958.
Effendi, Satria M. Zein. Ushul Fiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offeset, 2009, Cet. Ke-3.
Goldzuher, Iqnaz. 1991. Pengantar Teologi dan Hukum Islam. Jakarta: INIS.
Mardani. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nurhayati, dan Ali Imran. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia Group.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Syaifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syaikh Hudari Biek, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1988 M).
Wael B Hallaq,A History of Islamic Legal Theories, Sejarah Teori Hukum Islam, Penerjemah: E Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid (Jakarta: Rajawali Press, 2001, Cet. Ke-2).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar